TANGISANMU DERITAKU

TANGISANMU DERITAKU
Setetes demi setetes air mata mengalir deras dari pipi Ruhma. Peristiwa yang baru dia baca di media membuatnya sangat bersedih. Bagaimana tidak sedih, pembantaian begitu banyak rakyat tak berdosa bisa terjadi di tengah masyarakat dunia yang begitu melek dengan informasi.
“Kenapa, mbak,” adiknya Lala rupanya memperhatikan tangisan Ruhma di depan televisi.
“Oh, tidak apa-apa. Mbak cuma sedih dengan peristiwa Suriah. Begitu banyak korban jiwa di sana.”
“Tapi mengapa negara kita tak perduli dengan perang di Suriah.”
Ruhma menghela napas panjang, sambil merenung dalam hati. Yah, kenapa negeri dengan penduduk muslim ratusan juta sangat tidak perduli dengan derita saudaranya di sana.
“Begitulah, dik. Kita belum menganggap sesama muslim sebagai saudara,” kata Ruhma singkat dengan gurat wajah penuh kesedihan.
******
“Mbak Faiz, gimana kabar permintan audiensi yang kita layangkan tempo hari ke media suara pos.”
“Belum ada jawaban, mbak”
“Ya, kita harus lebih aktif lagi, mbak,” kata Ruhma.
“Begitulah media kita. Sekelompok kecil yang tertindas tapi gaungnya jadi sangat luar biasa seolah korbannya beribu. Tapi bila muslim yang tertindas biar korbannya berjuta paling muncul dalam kolom kecil saja,” kali ini suara Rani.
“Betul, Mbak Rani. pemberitaan tentang penderitaan muslim memang begitu minim,” Isna ikut mengeluarkan pendapatnya.
“Padahal rata-rata pekerja media itu juga adalah muslim,” Faiz berpendapat juga akhirnya
“Benar, tapi mereka pada umumnya berada pada posisi-posisi pinggiran, sekedar staf biasa atau pelaksana lapangan, kalaupun ada yang berada di level pimpinan umumnya sudah tercerahkan pemikirannya dengan pandangan sekuler, “ Ruhma mencoba menengahi.
Semua menyadari bahwa media benar-benar berada dalam belenggu kekuasaan. Berita apa saja yang tidak menguntungkan mereka maka jangan harap bisa muncul di pemberitaan.
****
“ Suriah sangat membutuhkan kita saudara-saudara, berpuluh ribu sudah korban jiwa berjatuhan. Entah berapa lagi yang terluka, tak perduli wanita, orang tua atau anak-anak,” semua mendengarkan orasi dari pembicara dalam acara seminar keperdulian Suriah yang di gelar ormas kebebasan.
“Jika kita tidak perduli derita rakyat Suriah maka apa nanti jawaban kita di hadapan Tuhan karena membiarkan saudara-saudara kita yang tengah menderita.”
Ruhma terus mendengar orasi demi orasi yang di sampaikan oleh para pembicara.
“Ah, tidak mungkin bisa mengatasi masalah disana, kita saja masih begitu banyak punya masalah, buat apa kita memikirkan yang sangat jauh di sana,”  suara di sebelahnya itu terdengar sangat menggangu kalbunya. Tapi Ruhma memilih untuk terus mendengarkan saja.
“Ya tidak bu, kita kan mesti perduli dengan nasib sesama. Suriah juga adalah saudara kita, jadi kita mesti perduli pada nasib mereka,” untungnya temannya sepertinya agak paham dengan fakta dunia.
“Ya kita sendiri kan masih begitu perlu dengan bantuan, kenapa mesti jauh-jauh kesana.”
“Ya kita mesti melakukan keduanya bu, disini kita bantu dan di Suriah sana juga mesti kita perdulikan.”
Kemudian semua diam. Ruhma kecewa sekali mendengar komentar yang di dengarnya, tapi dia tidak bisa apa-apa. Memang begitulah sepertinya pandangan mayoritas rakyat di negerinya. Kurang perduli dengan sesama saudara, padahal muslimkan di ibaratkan satu tubuh di mana jika satu sakit maka semua mesti merasakan hal yang sama. Tapi hal itu sepertinya masih merupakan mimpi sekarang ini.
****
Pagi ini Ruhma merasa hatinya jauh lebih sakit dari biasanya. Penyebabnya adalah permintaan ayahnya semalam untuk tidak lagi aktif menggalang dana bagi Suriah.
Ayahnya merasa marah karena pagi tadi dia melihat Ruhma di lampu merah membawa kardus berkeliling dalam penggalangan dana bersama banyak teman-temannya. Rupanya ayahnya merasa malu kalau ada keluarga atau rekan kantornya yang melihat dan mengenal Ruhma.Oh ayah, kenapa harus begitu, Ruhma cuma bisa menangis. Kenapa mesti malu pikirnya, bukankah yang di lakukannya tidak salah, malah sesuatu yang sangat mulia karena bertujuan membantu sesama.
Ternyata di tengah kegiatannya yang begitu luar biasa menyeru orang pada keperdulian dia belum mampu membawa keluarganya sendiri pada keperdulian.
“Ayahmu cuma perlu tahu Ruhma.” Ibunya menghibur.
“Iya bu, Ruhma tahu. Tapi masa ayah tidak melihat betapa berat penderitaan rakyat Suriah.Mereka di bombardir pesawat, di lontari granat, di tembak. Ribuan dan bahkan mungkin sudah ratusan ribu jadi korban.”
Ibu Ruhma cuma mendesah panjang. Dia sangat mengenal Ruhma anaknya tercinta. Tapi dia yakin ayah Ruhma akan mengerti satu hari.
****
 “Ruhma, tolong persiapkan obat-obatan. Bawa juga AK 47 beserta isinya,” demikian perintah dari Um jaafar. rekannya di batalion Sawt Al Haw(suara kebenaran). Pertempuran di Kota Aleppo ini selalu terjadi hari demi hari. Um jaafar adalah istri dari Abu jafar. Sebelum revolusi meletus beliau adalah peñata rambut. Suaminya yang telah mendidiknya menjadi pejuang tangguh.
“Ya ukhti,” Ruhma berkata singkat sambil terus bergegas menyiapkan setumpuk obat-obatan dan senapan otomatis AK 47 beserta isinya.
Sesampai di medan tempur Um jaafar dengan lincah segera bergerak mencari posisi terbaik untuk memberi perlindungan pada Ruhma dan segenap pejuang lain yang ingin memberikan pertolongan pada pejuang oposisi yang terluka. Ruhma pun dengan sigap menolong beberapa orang pejuang yang terluka, ada yang tertembak di bagian lengannya, ada yang tertembak di bagian kakinya, bahkan beberapa terpaksa di amputasi karena pecahan bom yang di lempar tentara Asad. Tidak ada sedikit pun rasa takut di hatinya.
 “Ukhti, betapa brutalnya mereka terhadap rakyat kita,”Ruhma bertanya kepada beberapa akhwat yang telah berbenah selesai dari bertugas di medan tempur. Mereka mengatur kembali persediaan obat-obatan dan persenjataan. Luar biasa, akhwat Suriah telah benar-benar menjadi singa-singa peperangan. Ada beberapa di antara mereka yang menjadi sniper.
“Mereka hanya sekelompok orang yang ingin terus menggenggam kekuasaan di dalam tangannya.”
“Tapi kenapa tampak sekali kebencian terhadap rakyat, bahkan yang tak berdaya.” Ruhma masih terus bertanya.
“Mereka benci karena seruan kami, bahwa perbudakan atas manusia harus di hentikan. Bahwa Tuhan kitalah yang berkuasa atas kita dan segala sesuatu harus di atur menurut hukumnya.” Um Jaafar dengan sabar terus memberi pencerahan pada Ruhma.
“Banyak yang menyatakan perduli pada kami di luar sana, tapi pada kenyataannya semua hanya bicara saja. Barat terus saja memberi janji tanpa sedikitpun ada tindakan. Demikian juga dengan orang-orang yang berjuang hanya dari hotel ke hotel itu. Bagaimana mungkin bisa tahu isi hati kami kalau tak pernah terlibat langsung di sini.” Umi Husna kali ini yang bicara.
“Demikian juga media barat terus saja bias dengan penberitaannya. Yang benar-benar berjuang justru di anggap teroris sementara yang benar-benar teroris di anggap pahlawan, “ tampak sekali Um Jaafar geram dengan dunia yang diam saja padahal pembantaian ada di hadapan mereka.
“Jika ada kesempatan kita harus terus sampaikan kepada dunia tentang apa yang sebenarnya terjadi di sini.”
Tiba-tiba terdengar suara bom meledak sangat nyaring tak jauh dari pembicaraan mereka. Semua kemudian keluar mencari tempat berlindung yang lebih aman. Dalam suasana gelap Ruhma juga terus berlari. Tapi tiba-tiba timah panas di rasakannya menembus kepalanya. Pandangannya kemudian segera menjadi kabur dan terakhir dia melihat Um Jafaar memanggilnya dengan keras diiringi tangisan.
****
Ruhma terus berjuang dengan semangat, tiada hentinya dia berorasi meneriakkan seruan pembelaan rakyat Suriah. Bersama akhwat lainnya dia bergantian menggelorakan semangat persaudaraan terhadap rakyat Suriah. Dia sudah memutuskan untuk menyampaikan apa kata rakyat Suriah. Mimpi syahid di Suriah beberapa malam lalu telah begitu menginspirasinya berbuat. Dan dia akan hadapi apa pun resiko dari perjuangannya karena surga adalah kenikmatan yang tiada tara manakala manusia bisa menunjukkan pengabdian sepenuh hati terhadap Tuhannya, dimana saja dia berada.