SEPENGGAL CERITA PASAR MALAM

SEPENGGAL CERITA PASAR MALAM
Pasar malam, jika kata tersebut terucap dari bibir anakku aku sudah tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Karena jika dia sudah meminta,jika keinginannya tidak di turuti maka pasti dia akan menangis sambil berguling-guling di lantai. Buah hati kecilku itu memang sangat hobi dengan yang namanya pasar malam. Jika dia sudah sampai di pasar malam maka hal pertama yang akan di tujunya adalah meminta naik odong-odong. Odong-odong adalah permainan anak-anak dimana anak-anak naik semacam kuda-kudaan yang naik turun seiring kayuhan sang pemilik odong-odong. Yah, buah hatiku yang baru berumur 2 tahun itu memang sangat senang sekali jika sudah berada di atas odong-odong. Dan aku pun sangat senang jika anakku senang.
            Sejak era reformasi bergulir Pasar malam memang demikian semarak. Hampir di setiap kelurahan mempunyai jadwal rutin penyelenggaraan pasar malam. Pasar dadakan yang buka dari pukul 5 sore sampai pukul 10 malam itu biasanya sangat ramai sekali, entah oleh yang sekedar mau cari keripik, sampai yang berbelanja untuk kebutuhan rumah tangganya. Aku tidak tahu dari mana dan siapa yang memulai pertama kali, yang jelas kemudian pasar malam menjadi tumpuan mencari nafkah dan kehidupan sangat banyak orang.
            Malam minggu ini lagi-lagi anakku minta di ajak mengunjungi pasar malam, dan lagi-lagi aku tak mampu menolaknya.
“Abi, mau naik odong-odong,”kata anakku afifah begitu sampai di pasar malam. Abi adalah panggilan anakku kepada ayahnya, sementara kepada ibunya dia akan memanggil umi.
“Ya, tapi fifah jangan lama-lama ya,”kataku.Dan dia pun lalu asik dengan goyangan di atas odong-odong. Aku tersenyum,kupandangi kesekeliling yang sangat ramai dengan orang yang hilir mudik sibuk mencari keperluannya masing-masing. Dan selalu saja mataku tertuju kepada bapak tua penjual peyek yang berjualan persis di samping tukang odong-odong. Bapak itu sering aku jumpai setiap pagi memikul barang belanjaannya.Barang  belanjaannya berupa dua kerangjang berisi kerupuk,peyek, dan makanan kecil lain, yang nilainya mungkin tak lebih dari 200 ribu. Aku kagum kepadanya karena di usianya yang mungkin sudah menginjak kepala tujuh itu dia masih giat dan dengan penuh semangat berjualan. Sementara disisi lain aku melihat lelaki yang belum terlalu tua dan tidak terlalu cacat menurutku namun hanya menengadahkan tangan mengharap belas kasih orang.
“Berapa harga peyeknya pak,”kataku akhirnya memulai pembicaraan dengan bapak tua itu.
“oh, 2 ribu saja sebungkus.”katanya dengan senyum.Kuambil uangku  4 ribu dan kuambil 2 bungkus peyek. Lalu kubuka salah satunya dan kunikmati.Enak rasanya,empuk dan gurih.” 
“Siapa yang buat peyeknya pak.”kataku lagi.
“istri saya pak. Ya dia yang buat semua jualan saya ini.”
“Lho anak bapak kemana.”
“kami gak punya pak. Kami hanya berdua saja.”Namun rengek anakku yang meminta untuk turun memaksaku berhenti dari percakapanku dengan pak tua itu.
Dilain waktu aku bisa melanjutkan pembicaraanku dengan bapak tua penjual peyek itu.
“ Gak capek pak ,berkeliling setiap hari membawa dagangan sebegitu banyak,”kataku memulai pembicaraan.
“Ya mau bagaimana,nak. Kami tidak punya pilihan. Hidup harus terus berlanjut. Hanya ini kemampuan kami.” Dan pembicaraan kami terus berjalan begitu lancar. Kami berbicara Tentang banyak hal.
Suasana pasar malam tetap saja sangat ramai. Memang pasar malam sekarang ini sudah jadi tempat mencari nafkah begitu banyak orang. Aku pernah iseng menghitung jumlah penjual dalam satu pasar malam di daerahku, mencapai  sekitar 100 an orang. Menurut cerita tetanggaku yang juga berjualan di pasar malam, omzet penjualan setiap pasar malam cukup lumayan. Jika setiap pedagang beromzet 300 rb saja maka perputaran uang dalam satu pasar malam paling sedikit sekitar 30 jutaan.Itu termasuk sangat lumayan untuk pekerjaan yang hanya ramai paling lama dalam 1 jam saja dari pukul 7 malam sampai pukul 8 malam. Sebelum jam tersebut dan sesudah jam tersebut biasanya pengunjung tidaklah terlalu banyak. Kami sendiri hampir di setiap kesempatan pasar malam berbelanja barang, entah Cuma mencari lauk untuk makan malam atau berbelanja beras untuk kebutuhan sebulan. Menurut istriku harga-harga di pasar malam memang cenderung lebih murah di banding harga toko dekat rumah kami.
Kembali kepada pak tua penjual peyek, sungguh aku sangat kagum kepada semangatnya. Dalam usianya yang kutaksir sudah kepala 7 dia masih saja dengan setia bekerja mencari sesuap nasi dengan tangan sendiri. Aku jadi ingin banyak  tahu dan mengunjungi rumahnya.
Berbekal alamat yang di berikan bapak penjual peyek itu, suatu sore dengan mengajak anak2 tercintaku aku mencari alamatnya dan berusaha menemuinya di rumah.Setelah sempat berputar-putar di perumahan bengkuring, akhirnya aku menemukan di mana tinggal si bapak tua penjual peyek tersebut. Dan aku benar-benar terpana melihat bagaimana rumahnya, terlebih keadaan di dalamnya. Rumahnya lebih tepat di sebut gubuk, karena hanya berukuran sekitar 4 x 5 M yang tampaknya tanahnya hanyalah tanah sisa. Atap rumahnya kulihat sudah berlubang di sana sini, dindingnya mayoritas terbuat dari triplek/plywood. Didalam rumahnya yang ada hanyalah sebuah kursi tua lusuh, bisa juga kulihat hidangan di atas meja makannya yang hanya ada tersedia peyek dan nasi putih saja di tambah dengan daun singkong yang tampaknya hanya memetik dipagar rumahnya. Tidak lama aku bisa tinggal di rumahnya, padahal dia begitu asik bercerita tentang keluarganya.
Aku menangis, teringat kepada keadaan kami. Begitu banyak nikmat yang di berikan kepada kami tetapi sering sekali kami acuhkan. Kami lebih sering merasa kurang dengan apa yang ada, sementara di luar sana banyak sekali yang tak berpunya, walau hanya sekedar sesuap nasi saja.
Malam itu anakku kembali mengajakku ke PM. Tetapi malam itu pandanganku mengarah kepada orang yang berbeda yaitu nenek tua penjual jengkol.

Tamat