PENDIDIKAN BAGI ISTRI MEMBENTUK KELUARGA SAKINAH

Tarbiyah bagi Istri Membentuk Keluarga Sakinah

ISTRI adalah rabbatul bait (pembina rumah tangga). Pembinaan bagi para istri amat diperlukan untuk menjadikannya sosok ideal yang layak diteladani. Pada para ibu inilah, banyak beban digantungkan, sehingga digambarkan surga terletak di bawah telapak kakinya.
Untuk menggapai sifat ideal itu pun diperlukan perhatian yang kontinu. Proses tarbiyah terhadap para istri akan membantu mencapai sifat-sifat keutamaan bagi mereka. Seperti halnya tarbiyah untuk para suami, tarbiyah untuk para istri pun mempunyai beberapa hal spesifik berikut.
a. Peningkatan Kualitas Diri
Sebagaimana para suami, para istri juga perlu senantiasa meningkatkan kualitas dirinya. Arahan Syaikh Hasan Al-Bannaberlaku juga bagi para istri. Oleh karena itu, berbagai wasilah (sarana) untuk meningkatkan kualitas diri ini harus senantiasa diusahakan.
Istri harus menguasai berbagai ilmu dasar, yakni ilmu-ilmu agama untuk membaguskan dien anak-anaknya. Apa yang bisa diajarkan oleh si ibu jika ia tidak memiliki ilmunya? Ia juga harus menguasai ilmu-ilmu yang mendukung semua itu, yakni ilmu pendidikan anak, psikologi dan perkembangan anak, serta ilmu tentang gizi dan kesehatan secara praktis. Semua itu kelak menjadi tuntutan keseharian yang sulit untuk dipersiapkan secara mendadak.
Aisyah r.a. adalah salah seorang figur teladan bagi para wanita. Keteladanan dalam masalah ilmu telah dicontohkan oleh beliau. Urwah bin Zubair pernah berkata, “Aku tidak menyaksikan orang yang lebih memahami tentang kandungan Al-Quran, kewajiban-kewajibannya, halal haram, puisi, pepatah Arab, dan ilmu nasab, kecuali Aisyah. Aku tidak menyaksikan orang yang lebih paham tentang masalah fikih, kedokteran, dan puisi, kecuali Aisyah.”
Pendapat Urwah tersebut diperkuat oleh Ibnu Abdul Bar, “Aisyah adalah satu-satunya sahabat yang menguasai tiga ilmu di zamannya: fikih, kedokteran, dan puisi.” Atha’ bin Abi Rubah dan Miqdad bin Al-Aswad memiliki pendapat serupa.
Hendaknya para istri Muslimah juga memperhatikan peningkatan kualitas keilmuan yang diperlukan bagi kemaslahatan diri, keluarga, masyarakat, dan dakwah Islam secara umum. Jika kita perhatikan dari contoh figur Aisyah r.a., beliau menguasai fikih, kedokteran, dan puisi.
Bagi para istri Muslimah, fikih amat diperlukan penguasaannya, terutama yang berkenaan dengan masalah-masalah praktis kerumahtanggaan. Ilmu kesehatan atau kedokteran diperlukan karena ibu harus mengetahui dasar-dasar pengobatan praktis, untuk melakukan pertolongan pertama tatkala anggota keluarga tertimpa sakit atau musibah.
Demikian juga dengan dasar-dasar pemahaman tentang obat-obatan agar tak salah dalam menggunakan obat sendiri. Sedangkan ilmu tentang puisi, mungkin saja di zaman sekarang bisa berkembang menjadi bentuk seni yang lain, seperti nasyid islami. Bagi ibu, hal itu akan menjadi satu metode untuk mendidik dan mengajar anak-anaknya. Tentu akan sangat menarik bagi anak, apabila mereka mendapatkan metode pengajaran yang menarik dan tidak membosankan, lantaran ada selingan nasyid atau puisi.
Tarbiyah bagi para istri hendaklah memperhatikan aspek pengembangan keilmuan dan intelektualitas. Sekalipun sebagian besar wanita Muslimah tinggal di dalam rumah, bukan berarti identik dengan jumud dan bodoh. Bahkan, mereka bisa tetap pandai dan terasah daya nalarnya dengan berbagai sarana pengajaran yang memungkinkan dilakukan, sembari melakukan pekerjaan rumah tangga.
b. Pembinaan Perasaan Keibuan
Peran sebagai seorang ibu banyak sekali. Ibu adalah contoh teladan bagi anak-anak, khususnya anak-anak perempuan. Ia tempat bertanya berbagai permasalahan, baik menyangkut fiqhun nisa’, psikologi, sosial, maupun berbagai masalah lain yang dihadapi anak. Oleh karena itulah, seorang ibu perlu memupuk rasa keibuan, hangatnya kasih sayang, lembutnya jawaban, dan santun dalam pergaulan. Ia harus cerdas menjawab setiap pertanyaan dari anak agar jawaban itu sekaligus sebagai penanaman nilai, bukan sekadar penyelesaian masalah sesaat.
c. Pembinaan Kemauan dan Kemampuan Melakukan Tarbiyatul Aulad
Sebagai ibu, ia memiliki kewajiban menarbiyah anak-anaknya dengan pembinaan yang islami. Apabila kecenderungan ‘menjadi’ seorang ibu belum muncul, pembinaan anak-anaknya pun akan cenderung tertelantarkan. Dengan kelembutan, kasih sayang, dan penuh perhatian, ia mendidik anak-anak untuk menjadi generasi penerus yang bisa diharapkan meneruskan perjuangan para pendahulu mereka.
Sebagai ibu, ia tidak layak memanjakan anak-anaknya dengan memenuhi semua keinginan mereka. Hal yang perlu dilakukan adalah memberikan bekal pendidikan yang akan menumbuhkan berbagai potensi positif mereka. Para sahabiah telah memberikan keteladanan bagaimana mereka mencetak generasi berkualitas.
Adalah seorang sahabiah bernama Afra’ r.a. Ia mendidik kedua anaknya yang masih muda belia, Auf dan Mu’adz, untuk mencintai Islam dan siap membela kebenaran. Tatkala terjadi Perang Badar antara kaum Muslimin melawan orang-orang kafir Quraisy, berangkatlah keduanya bersama tentara kaum Muslimin. Abdurrahman bin Auf memuji kedua anak muda belia mi, lantaran keberanian mereka maju ke medan pertempuran serta memilih lawan yang tak tanggung-tanggung; Abu Jahal bin Hisyam, gembong kaum kafir.
Demikian pula Khansa’ r.a. yang mempersembahkan empat putranya untuk menjadi pembela Islam. Ia didik keempat anaknva dengan tekun dan penuh curahan perhatian, hingga tumbuhlah mereka menjadi pemuda gagah perkasa yang siap membela kebenaran. Suatu saat, Khansa’ r.a. berwasiat kepada anak-anaknya,
Wahai Permata Hatiku, dengan penuh kesadaran dan ketaatan kalian masuk Islam, dan atas pilihan sendiri pula kalian berhijrah. Apabila kalian melihat perang berkecamuk, bergegaslah kalian menghambur ke tengah medan laga dan jadilah kalian orang yang berada pada barisan pertama. Niscaya kalian akan mendapat keberuntungan dan kemuliaan di hari yang kekal dan abadi nanti.
Kisah Nusaibah binti Ka’ab r.a. (Ummu `Amarah) juga tak kalah mengharukan. Dalam satu pertempuran, putra Nusaibah berkata, “Ketika darah terus mengucur dari lenganku maka Rasulullah bersabda, ‘Balutlah lukamu!’ Ibuku segera menghampiriku sambil membawa kain pembalut pada pinggangnya yang memang sudah dipersiapkan untuk merawat pasukan yang terluka. Ia lalu membalut lukaku dan Rasulullah berdiri melihat kepadaku. Setelah selesai ibuku berkata, ‘Bangkitlah wahai Putraku, dan perangilah orang orang durjana itu!’ Melihat adegan ibu dan anak itu, Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam bersabda, ‘Adakah orang yang mampu melakukan apa yang engkau lakukan, wahai Ummu `Amarah?’”
Berbagai fragmen dalam sejarah kehidupan Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam dan para sahabiah tersebut memberikan gambaran bagaimana ibu-ibu waktu itu melakukan tarbiyatul aulad. Hasil pendidikan anak yang mereka lakukan sungguh luar biasa. Telah tercetak kader-kader tangguh yang siap membela dan memperjuangkan kebenaran; bukan generasi ecstasy; bukan pula generasi teler yang selalu hidup di alam khayalan. Selayaknyalah kaum Muslimah memperdalam berbagai kisi-kisi tarbiyatul aulad agar anak-anak mereka mampu menjadi generasi dambaan umat.
 d. Pembinaan Manajemen Kerumahtanggaan
Istri hendaklah belajar membuat anggaran belanja bulanan, dari sejumlah pemasukan uang yang biasa diberikan oleh suaminya per bulan.
SEBAGAI rabbatul bait (pembina rumah tangga), istri sangat berperan dalam pengelolaan rumah tangga; mulai dari membelanjakan uang dengan tepat, mengatur perabot rumah tangga, menyelesaikan pekerjaan kerumahtanggaan, mengatur perlengkapan, sampai menata suasana rumah, dan sebagainya. Istri harus lebih memiliki perhatian dan kepekaan yang tinggi dalam masalah-masalah tersebut, walau pelaksanaannya dapat dilakukan dan menjadi tanggung jawab seluruh anggota keluarga.
Selain pembinaan manajemen kerumahtanggaan, pembinaan dapat pula dilakukan dengan aplikasi dan perhatian yang serius dalam kehidupan keseharian. Sebagai contoh, setelah mendapatkan pengajaran tentang dasar-dasar pembelanjaan secara sederhana, bisa langsung diaplikasikan dalam rumah tangga. Istri hendaklah belajar membuat anggaran belanja bulanan, dari sejumlah pemasukan uang yang biasa diberikan oleh suaminya per bulan.
Dengan jumlah uang yang rutin diterima per bulan itu, dibuatlah strategi pengelolaan secara rapi dan aman, bahkan jika perlu masih menyisakan bagian untuk ditabung. Demikian juga belajar mengalokasikan uang yang terbatas untuk mencukupi berbagai macam kebutuhan. Di sini, selain sikap dasar keikhlasan, memang amat terasa fungsi ilmu manajemen keuangan rumah tangga bagi setiap istri.
Ada kalanya, suami yang berkecukupan memberikan uang belanja bulanan secara berlebih. Namun, jika tidak ada kemampuan pengelolaan, akan terjadi pemborosan atau kemubaziran pada pos-pos pengeluaran yang tidak terlalu penting. Sebaliknya, adanya kemampuan mengelola yang didasari sikap kesederhanaan, akan melahirkan kondisi kecukupan dan perasaan lapang, sekalipun (sesungguhnya) uang belanja bulanan rumah tangga itu amat pas.
Istri juga dapat mendiskusikan pengalaman mengelola keuangan rumah tangga ini dengan sesama ibu rumah tangga yang tepercaya. Mereka saling bersilaturahmi, sehingga terjadi suasana saling menasihati dan memberikan masukan. Jika di antara ibu-ibu Muslimah telah terjalin suasana ukhuwah yang kukuh, akan lebih memudahkan lagi dalam membicarakan masalah dapur dan keuangan ini. Mereka akan lebih merasa aman dalam suasana persaudaraan semacam itu.
Kunjungan antar-ibu rumah tangga bukan hanya mendapatkan berbagai masukan tentang pengelolaan uang belanja, akan tetapi secara langsung bisa saling menyaksikan bagaimana perabot rumah tangga ditata di tiap-tiap sudut rumah mereka. Akan terjadi pertukaran pengalaman dalam menata kursi tamu, meja makan, atau perlengkapan dapur, ataupun hal praktis lainnya dalam manajerial kerumahtanggaan.
Suasana diskusi dan tukar pengalaman semacam itu telah menjadi satu bentuk tarbiyah tersendiri bagi para istri. Mereka terbina oleh beragam pengalaman, baik menyangkut pengalaman keberhasilan ataupun kegagalan, disertai analisis faktor-faktor penyebabnya.
e. Pengajaran Surat An-Nur
Ada ajaran spesifik yang dibebankan kepada para suami, yaitu mengajarkan surat An-Nur kepada istrinya. Hal ini bukan berarti bahwa hanya surat itu yang perlu diajarkan, akan tetapi An-Nur telah ditunjuk secara khusus sebagai bahan pengajaran kepada istri. Umar bin Khathab r.a. memerintahkan kepada ahlul kufah, “Ajarilah istri-istrimu surat An-Nur.”
Dalam surat An-Nur, antara lain terkandung berbagai hukum dan adab kerumahtanggaan. Diawali dengan penjelasan tentang hukum perzinaan, hukum menuduh berzina wanita yang baik, hukum li’an (antara suami dan istri saling melaknat), pedoman pergaulan dalam rumah tangga, adab memasuki rumah orang lain, adab hubungan laki-laki dan wanita yang bukan mahram, juga terdapat kisah tuduhan terhadap Ummul Mukminin Aisyah r.a.
Pengajaran surat An-Nur ini adalah bagian dari upaya tarbiyah khuluqiyah dan tarbiyah fikriyah bagi para istri. Oleh karena pentingnya masalah ini, jika para suami tidak mampu memberikan pengajaran surat An-Nur, bisa `diwakilkan’ kepada para mualim atau para murabbi. Para suami hendaknya memberikan kesempatan dan mengantarkan istrinya menghadiri majelis taklim yang mengajarkan surat An-Nur
Hendaknya ditanamkan perasaan bahwa istri adalah sosok Muslimah teladan di mata suami, anak-anak, dan masyarakat.
f. Penanaman Nilai Keteladanan
Ibu adalah teladan. Ia harus memberikan keteladanan dalam berpakaian, berpenampilan, berbicara, dan bertingkah laku. Kadang-kadang, ada beberapa ibu Muslimah yang berpura-pura di hadapan suami, anak-anak, dan anggota keluarga yang lain. Ia menampilkan citra diri yang sebagus-bagusnya di mata keluarga, tetapi ia berbuat jahat dan keji di luar rumah.
Para wanita yang banyak keluar rumah untuk urusan karier dan pekerjaan saat ini mengakibatkan tambahan agenda permasalahan dalam tarbiyah Islam. Sebab, dengan leluasa para istri Muslimah bergaul dan berhubungan setiap hari dengan sekian banyak lelaki di kantor tempat bekerja. Di antara mereka memang masih ada yang memiliki pemihakan kepada nilai-nilai syar’i da;am muamalah dengan lawan jenis. Tetapi, sebagian yang lain sudah tidak pernah memikirkan batas-batas lagi.
Kesadaran sebagai teladan di dalam keluarga dan masyarakat bisa terdegradasi oleh pengaruh lingkungan dan kebiasaan-kebiasaan yang dialami secara rutin setiap hari. Terkadang yang muncul adalah sikap kepura-puraan, karena ia masih mengharapkan anak-anak tumbuh dengan baik dan bermoral, sementara lingkungan `menuntut’ ia untuk berlakutabarruj (berhias secara berlebih-lebihan) dan bebas moral.
Hendaknya ditanamkan perasaan bahwa istri adalah sosok Muslimah teladan di mata suami, anak-anak, dan masyarakat. Cara berpakaian di luar rumah amat mendukung hal ini. Untuk itu, perlu senantiasa menyesuaikan tuntunan syariat, antara lain menutup rambut dan seluruh anggota tubuh (kecuali muka dan telapak tangan), berpakaian longgar (tidak ketat), tidak transparan, tidak menampakkan lekuk-lekuk tubuh, tidak tabarruj, berpenampilan sederhana, serta lugas dalam berbicara dan tidak mendayu-dayu sehingga mencegah datangnya fitnah.
Perasaan dan tanggung jawab keteladanan semacam itu tidaklah senantiasa lahir dengan sendirinya. Pemunculan dan penjagaannya memerlukan sebuah proses pembiasaan dan tarbiyah yang berkesinambungan. Tanggung jawab keteladanan bisa dipupuk dalam diri para istri dengan nasihat, pengingatan, dan pengajaran.
Suatu ketika, Ummu Athiyah berkata kepada anak-anaknva, “Kemarilah kau, akan kuberi sesuatu.” Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam bertanya, “Apa yang hendak kauberikan?” Ia menjawab, “Aku hendak memberinya kurma.” Rasulullah bersabda, “Sungguh, bila engkau tidak memberinya sesuatu, niscaya kamu akan ditulis sebagai wanita pendusta.”
Perasaan dan tanggung jawab keteladanan yang ditanamkan Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam kepada Ummu Athiyah tersebut, tampaknya mengenai suatu hal yang biasanya dianggap sepele dan sederhana dalam rumah tangga, yaitu tidak boleh menipu atau memberi harapan palsu kepada anak-anak. Jika dalam masalah yang cenderung dianggap sederhana itu pun ditanamkan sikap keteladanan, tentu saja untuk urusan yang lebih besar memerlukan perhatian yang lebih pula.
Penjagaan kesadaran sebagai teladan di mata anak-anak akan ikut menumbuhkan sikap ketegasan dan penolakan terhadap berbagai tawaran menyesatkan dari lingkungan. Ia akan merasa amat bersalah apabila memberikan keteladanan yang buruk di hadapan anak-anak. Dengan perasaan semacam itulah, ia terpacu untuk memberikan sesuatu yang paling bagus untuk dicontoh