AYAH

AYAH
Aku masih termenung malam ini mengingat kembali jalan hidupku yang teramat berliku. Tanpa terasa 37 tahun sudah waktu berlalu. Saat ini aku bekerja sebagai PNS di sebuah lembaga diklat guru. Jauh sekali dengan jurusan asal di masa kuliahku yakni kehutanan. Aneh juga memang jika aku mengingat perjalanan hidupku.
****
“Tapi ayah, aku tidak ingin kuliah disana,” aku terus menyampaikan argumenku kepada ayahku atas  ketidak sukaanku kepada pilihan ayahku untuk kuliah di fakultas kehutanan.
“Tidak kamu harus masuk kesana, sayang sekali kamu sudah lulus di UMPTN,” kata ayahku.
“Tapi saya kan bisa ikut lagi yang lokal ayah,” aku masih terus membantah ayahku.
“Yang penting masuk dulu, masalah pekerjaan itu nanti jika kamu sudah lulus,” sudah itu ayahku diam. Ibuku juga membantu aku mengalahakan argumen ayah, namun seperti biasa ayahku tetap dengan kemauan kerasnya. Jadilah aku menangis hari itu karena kuliah di fakultas kehutanan aku bayangkan akan sangat membosankan sekali, bagi aku yang perempuan.
Akhirnya toh aku kemudian benar-benar kuliah di fakultas kehutanan. Kuliah yang benar-benar membosankan buat aku karena materi-materinya semuanya berhubungan dengan hutan dan segala isinya dan prakteknya pun otomatis berada jauh di lingkungan dalam hutan.
Tidak banyak yang aku ingat dari 4 tahun masa kuliahku. Mungkin hal ini di sebabkan tidak adanya minatku, sehingga waktu terasa berjalan sangat lambat, padahal hanya 4 tahun aku kuliah. Banyak kawan kuliahku yang baru menyelesaikan kuliahnya di tahun ke tujuh studi mereka atau tahun terakhir yang di perbolehkan oleh universitas atau kemudian harus di DO.
****
“Ira, coba kamu tally di mobil Heri,” bosku pak Amat memberi perintah.
“Wah, muat untuk kanvas pak,” aku bertanya lebih jelas.
“Ya,kamu pasti bisa.”
“Tapi saya kan belum pernah menally mereka pak. Nati kalau salah bagaimana.”
“Tidak apa, disana orang-orangnya bagus. Tidak perlu kuatir kalau ada kesalahan,” aku sedikit lega mendengar kata-kata bosku tersebut. Sesungguhnya aku takut jika ada kelebihan barang karena salah hitung.
Pekerjaanku selepas kuliah adalah menjadi tukang tally di gudang ABC. Di gudang yang berjualan segala yang bermerk ABC seperti kecap, mie, dan sirup. Sebenarnya pekerjaan ini lagi-lagi sangat jauh dari impianku semula dan impian ayahku. Tapi demi mencari pengalaman aku jalani saja pekerjaan sebagai tukang tally atau tukang catat keluar masuk barang ini. Dari pada menganggur pikirku.
Di tempat bekerjaku ini aku mempunyai seorang teman, pak Kumis panggilannya. Pak Kumis ini jabatannya sebagai penerima barang yang turun dari kontainer dan bertugas mengatur penempatan barang-barang di gudang.
“Ira, yang penting kamu jalani saja dulu yang harus kamu jalani. Kehidupan ini selalu akan mengarahkan kita pada tujuan akhir dari kehidupan yang harus kita jalani. Maka pekerjaan demi pekerjaan, tahapan demi tahapan akan mengarahkan kita pada hal yang terbaik buat kita.”
“Ya pak. Saya kadang-kadang cuma merasa heran kenapa, dalam hidup kita mesti menjalani banyak hal berliku.”
“Ya begitu memang mestinya Ra. Kalau hidup langsung enak yang jarang, hanya sekian persen dari ratusan persen. Yang terbanyak ya harus menjalani beragam cobaan,” Pak Kumis terus menasehati aku.Banyak kenangan menarikku yang kuingat bersama Pak Kumis, teman yang sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri.
****
Ayahku sampai sekarang masih terus berusaha mencarikan aku pekerjaan yang lebih baik dari pada pekerjaanku di gudang. Dapat kulihat dari tatapan matanya, sepertinya dia kasihan melihat buah hatinya setiap hari pulang jam 5 sore dengan bekerja di lingkungan pergudangan yang mayoritas pekerjanya adalah laki-laki dan beban pekerjaan sangat berat.
Disatu waktu ayahku pulang membawa kabar adanya penerimaan PNS di satu kantor.
“Ira, ada kabar bagus. Di kantor badan diklat ada penerimaan PNS, tapi yang ada cuma formasi SMA.”
“Lho, sia-sia dong kuliah saya ayah.”
“Ya tidak nak. Yang penting kamu bisa masuk dulu.”
“Lagi –lagi ayah berkata begitu. Dulu waktu Ira tidak mau kuliah di kehutanan ayah juga bilang begitu,” aku bersuara agak keras kepada ayahku. Ayahku diam, kemudian menghela napas panjang.
“Semua demi kamu Ira, ayahkan tidak mau kamu susah seperti ayah yang cuma supir,” suara ayahku kali ini sangat lunak. Mungkin dia lelah harus terus bertengkar dengan aku.
Akhirnya karena tidak mau mengecewakan ayahku aku tetap mengikuti tes di badan diklat seperti yang di tunjukkan ayahku. Semua tahapan kuikuti, tes demi tes, tahapan demi tahapan.

****
“ Ayah lihat kan, ternyata aku cuma di jadikan tukang sapu di sana,” lagi-lagi aku marah pada ayahku.
“Tapi mungkin itu cuma sementara Ira.” kata ayahku menenangkan,”Kan tidak semua temanmu seperti kamu. Katamu cuma angkatanmu saja yang bekerja di asrama.”
“Ya memang ayah, cuma pekerjaannya sangat berat ayah, sampai malam. Digudang saja dulu cuma sampai jam 5 sore,” Aku masih saja mengeluh pada ayahku tentang pekerjaan yang baru saja kudapatkan, sebagai PNS di sebuah lembaga diklat.
“Sabar Ira, nanti kamu menyesal lho,” ibuku kali ini membantu ayahku, tidak seperti biasanya.
“Iya Nak, berjuta orang mau jadi PNS seperti kamu.”
Aku diam, kami semua diam. Lagi-lagi aku harus menjalani kehidupan yang tidak mudah. Pekerjaan dari jam 7 sampai jam 8 malam harus kujalani. Bersama angkatanku aku yang bertugas di urusan kerumah tanggaan harus bekerja dengan keras, melayani peserta diklat agar mereka betah berada di lingkungan kami, entah di kelas, entah di asrama, entah di kantin.
****
“Mas, aku mau datang ke tempat Ayah ya,” kataku  kepada Rudi, suamiku.
“Ya pergi saja dong, ma.”
“Tapi aku mau pergi sama Mas Rudi,” kataku manja sambil memeluk lengannya.
Suamiku tersenyum sambil balas mencium tanganku, “ya, besok kita singgah ya.”
Aku begitu bahagia saat ini. Dengan dua buah hati yang mulai beranjak dewasa dan suami yang penuh pengertian aku benar-benar merasa dalam keberuntungan yang sangat besar. Suamiku adalah rekan kerjaku di balai diklat. Kami tentu saja bertemu dan di perjodohkan oleh kebersamaan, karena kami sama-sama bekerja di badan diklat.
Pekerjaan berat di kantorku tidak lama aku rasakan, hanya di 3 bulan pertama. Untuk mengenalkan pada lingkungan kerja kami ternyata. Dan sesudahnya aku di tugaskan di bagian laboratorium dengan tugas menjaga dan merawat fasilitas laboratorium di kantorku.
Dan kemudian hari-hariku menjadi sangat indah karena kemudian aku bertemu dengan Mas Rudi, kawan kantorku yang lebih dulu masuk. Tidak sampai 3 bulan kemudian kami pun menikah, dan sekarang kami telah di karuniai 2 orang anak yang sudah bersekolah di jenjang SD. Aku juga telah mengikuti ujian persamaan sehingga ijazah S1 ku pada akhirnya tidak sia-sia, dan bisa di akui.
****
“Ayah, maafkan Ira. Selama ini Ira sangat banyak melawan apa kata ayah,” aku kembali menangis.
“Sudahlah ma. Ayah pasti sudah memaafkan kamu,” Suamiku menenangkan. Aku masih terus menangis sambil menaburkan banyak bunga. Ayahku telah pergi 7 tahun yang lalu. Pada saat aku belum banyak berbuat untuk membahagiakannya.
“Ayah telah membimbing aku dengan luar biasa, tapi aku dulu sering membantah apa kata ayah. Kalau bukan karena ayah aku pasti tidak bisa seperti sekarang.”
Setetes demi setetes air mataku terus mengalir membasahi pipiku. Jika sudah begitu suamiku pasti akan membelai kepalaku dan menghapus air mataku dengan tisu yang selalu di bawanya. Menghapus air mata yang entah sampai kapan akan terus tertumpah karena penyesalan yang tiada terkira akan sikap yang tidak semestinya. Tapi aku yakin ayahku sudah tersenyum bahagia di sana karena cita-citanya akan anaknya yang lebih baik telah menjadi nyata.