KEMELUT

KEMELUT
Ratih kesal sekali dengan tersebarnya berita burung tersebut di kantornya. Masalahnya dia merasa sangat tidak enak sekali dengan pimpinannya. Posisi sebagai sekretaris telah menyebabkan segala informasi menyangkut kepala adalah tanggung jawabnya. Segala hal menyangkut surat dan informasi dari dan kepada kepala adalah wewenangnya. Maka ketika ada satu berita yang tidak benar tentang kepala atau berhubungan dengan surat rahasia dari luar dialah yang akan di tanya pertama kalinya oleh orang satu kantor.
****
Pagi itu Isma datang di ruangan kecilnya. Dia mendengar juga tentang kekesalan Ratih pada Ani.
“Bagaimana sebenarnya cerita tentang kepala kita itu Ratih.”
“Oh itu memang benar ada panggilan buat beliau, tapi itu hanya panggilan dari kepala badan kita, bukan dari penegak hukum. Biasalah kalau atasan memanggil bawahannya,” kata Ratih dengan senyum.
“Lho tapi koq berita yang tersebar di luar kepala kita di panggil aparat hukum.”
“Nah kalau berita itu Mbak Isma tanya saja kepada yang membawa berita. Saya tidak merasa pernah menyampaikan begitu.”
“Dengar-dengar Ratih jengkel sekali ya dengan Ani?”
“Ya itu Mbak,masa dia menyebar berita kepala kita mau di panggil penegak hukum, pada hal bukan begitu jalan ceritanya. Sesekali Ani itu perlu di kasih pelajaran.”
“Sabar Ratih.”
“Tidak bisa mbak Isma, Ani itu memang kebangetan sekali. Dia itu sudah demikian sering membawa berita yang tidak benar dan selalu menyebut sumbernya dari saya,” Ratih berkata dengan berapi api. Isma mendengar curhat salah satu teman terbaiknya itu dengan senyum.
“Tapi memaafkan kan hal yang sangat terpuji mbak, dari pada kita simpan terus rasa sakit hati itu.”
“Tapi kalau terus terusan dia menyebarkan hal tidak benar tentang kita maka kita kan akan jadi jelek dalam pandangan orang,” kata Ratih masih dengan marah. Isma cuma mengangguk angguk dan lalu diam. Sepertinya percuma menenangkan Ratih pada saaat ini.
****
“Ani, pokoknya kamu harus luruskan berita yang kamu bawa pertama kali tempo hari. Saya tidak terima dengan tersebarnya berita tentang saya tersebut,” Ratih nampak demikian emosi kepada Ani. Ani cuma terdiam, dia memang merasa bersalah sekali dengan beredarnya isu bahwa Ratih telah menyatakan Kepala kantornya akan di laporkan kepada aparat penegak hukum.
“Ya, mbak nanti akan saya luruskan, “ kata Ani singkat.
“ Ani kan tahu kalau semua itu keliru,”  Ratih melanjutkan. Ani tetap diam dan menunduk dalam dalam, “Kenapa sih kamu suka banget membuka berita yang masih belum jelas kebenarannya.”
“Iya mbak, saya minta maaf, saya terlalu terburu-buru .”
Ratih terus berbicara secara panjang lebar, tentang keharusan menjaga bicara, tentang ketidakperluan membahas hal yang kita tidak jelas. Tapi Ani tetap saja hanya diam.
****
 “Coba nak, kalau kamu yang di bicarakan orang seperti itu pasti kamu sakitkan,”  ibunya berkata dengan sangat lembut kepadanya. Namun kata-kata ibunya itu tetap saja terasa sangat menyengat kalbunya. Nasehat itu di keluarkan ibunya karena curhat Ani kepadanya tentang permasalahan di kantornya, di satu malam.
“ Iya bu, Ani mengerti, tapi bukankah ini bukan salah Ani saja. Kenapa semua sekarang seperti tertumpu di pundak Ani,” Ani berkata masih dengan tetesan air mata.
“Mungkin kamu sering berbuat begini nak, makanya orang selalu melihat kepadamu setiap ada hal apa saja di kantormu.”
“Tidak bu, semua juga. Kalau masalah banyak bicara semua juga suka banyak bicara bu.”
“Sudahlah nak. Kita tidak usah mencari siapa yang salah dalam hal ini. Yang jelas jika kita berbuat kesalahan kita harus memperbaikinya nak. Rasa tinggi hati hanya akan menghambat selesainya masalah. Temanmu mungkin juga punya kesalahan tapi itu kan cuma reaksi dari masalah yang kamu mulai.”
Ani menyadari bahwa dia memang keliru dalam hal gosip tentang pelaporan kepala tersebut. Cuma waktu pertama kali muncul kan memang begitu ceritanya. Bukankah kepalanya tadinya memang akan di laporkan kepada aparat penegak hukum dan bukankah bukan hanya dirinya yang membuka berita tentang pelaporan tersebut.
Ratih memang sahabat karibnya, tapi dia tidak perduli  apabila persahabatan itu harus hancur karena masalah ini.Akhirnya Ani memilih diam saja. Sekali pun dia telah meralat semua yang berhubungan dengan kesalahannya dia menjadi sangat marah . Dia tidak marah dengan tuduhan Ratih tapi dia marah mendengar bagaimana caranya menegurnya, sangat kasar dan keras.
Hari demi hari berlalu. Ani masih terus kekantor seperti biasa.Dia masih terus mengerjakan semua tugas pekerjaannya seperti biasa. Namun kali ini setiap bertemu Ratih atau melewati ruang kecil tempat Ratih bertugas sebagai seorang sekretaris kepala, Ani selalu bersikap cuek, tanpa senyum dan tawa, tanpa bicara sepatah kata pun. Namun ada yang terasa kurang dalam hatinya sekarang setiap kekantor, hampa dan sangat tidak menyenangkan. Sesak dadanya setiap berpapasan dengan Ratih.
****
Ratih heran, kenapa sejak dia bicara dengan Ani tempo hari dan mengingatkannya tentang isu mengenai kepalanya dirasakannya sikap Ani sangat jauh berubah. Ani tidak lagi ramah kepadanya dan bahkan terkadang Ani tidak senyum sama sekali jika berpapasan dengannya di selasar atau ketika bertemu di kantin kantor.“Dasar aneh, mestinya kan aku yang marah,” demikian batin Ratih.
Tetapi ketika sikap dingin Ani bertahan lama. Dan meski bicara hanya seperlunya saja semua menjadikan perasaannya menjadi tidak enak sendiri. Dia mencari cari apa yang salah dengan sikap dan kata-katanya. Dirasakannya semua menjadi sangat tidak menyenangkan, terlebih biar bagaimana pun Ani adalah salah satu teman terbaiknya di kantor ini. Ani adalah salah satu sahabatnya karena mereka berdua memang kebetulan satu angkatan masuk kekantor tersebut. Kemudian mereka juga sangat sering terlibat dalam kegiatan karena mereka pernah berada di satu ruang karena berada pada bagian  yang sama.
****
Setetes demi setetes air mata Ani mengalir mendengarkan apa kata ibunya. Ibunya membacakan sebuah surah kepadanya tentang larangan orang untuk menjelekkan saudaranya, juga tentang keutamaan memaafkan kepada siapa pun. Dia makin merasa bersalah dengan semua. Ani makin merasa bersalah. Dia sangat ingin meminta maaf dan kembali kepada persahabatannya . Tapi dia merasa sangat gengsi untuk meminta maaf pada Ratih.
Selama ini dia sudah terlampau sering menyakiti hati sahabatnya itu. Dia ingat dulu dia pernah bertengkar dengan Ratih gara-gara berselisih paham soal penyediaan alat kelengkapan kegiatan. Dia juga pernah di marahi Ratih karena  kasus bocornya SK kepala tentang formasi pegawai. Ani juga pernah  malu kepada orang satu kantor karena dia menyatakan tunjangan akan naik 200%, padahal sumber berita dari internet yang dia kutip ternyata keliru. Namun hatinya sangat lapang sekarang ketika dia berhasil memaafkan kata-kata tidak menyenangkan Ratih kepadanya.
****
Pagi itu seperti biasa Ratih tengah sibuk dengan pekerjaannya, mengadministrasi surat-surat untuk kepala kantornya. Demikian juga semua rekan-rekan kantornya. Tapi suasana yang sepi tersebut di pecahkan dengan tangisan beberapa orang dari ruang sebelahnya. Dan ketika  tahu sebabnya Ratih juga menangis dengan sangat keras, karena ternyata yang mereka dengar adalah berita tentang kepergian Ani karena kecelakaan pagi tadi yang di alaminya dalam perjalanannya kekantor. Nyawanya tidak tertolong lagi.
****
Ratih membuka laptop di depannya. Laptop itu sebelumnya adalah laptop kantor yang di pegang oleh Ani. Menurut teman-temannya di dalamnya ada sepucuk pesan untuk Ratih dari Ani.
“Sahabat, aku tahu aku telah sering berbuat salah kepadamu. Aku telah terlampau sering menyakiti hatimu. Namun percayalah bahwa di dalam hati kecilku aku sangat menyesal dengan peristiwa yang kita alami. Sahabat semua manusia pernah salah dan kalau kesalahan itu harus di tebus dengan mengorbankan yang paling berharga dalam hidup, agar kita dapat kembali pada suasana dahulu, bercanda dan bersama, aku rela. Sahabat, sekali lagi maafkan semua salahku.”
Demikian bunyi sepucuk pesan yang tertulis di salah satu folder di laptop Ani. Dan tulisan tersebut jelas-jelas merupakan pesan yang ditujukan untuk dirinya karena memang disana tertulis untuk Ratih sahabatku. Dari sana juga Ratih jadi tahu kalau Ani sangat tersinggung pada cara bicaranya saat itu. Ratih cuma bisa menangis.
****
Sore itu Ratih tengah khusu’ berdoa, diatas pusara Ani, yang masih penuh dengan bunga-bunga berbau wangi,”Sahabat, maafkan aku. Aku juga cuma manusia biasa yang tidak luput dari salah dan dosa. Mudah-mudahan kita bisa kembali pada persahabatan kita yang abadi di sana,” demikian batin Ratih di dalam hatinya. Dan dia terus khusu’ dalam doanya, akan kebaikannya, kebaikan sahabatnya, kebaikan semuanya.