BANDARA

BANDARA
Pandanganku terpana, menatap tanpa berkedip sesosok wajah yang telah demikian lama pergi dari hari hariku, membiarkan semua yang pernah terjadi berlalu. Di Bandara Sepinggan ini dulu aku mengenalnya, pada sebuah perjalanan dinasku. Kini setelah waktu lama aku kembali di pertemukan dengannya, membangkitkan sejuta cerita jiwa.
****
Wajahku kusut, dengan wajah gontai aku melangkahkan kaki memasuki bandara Sepinggan di Kota Balikpapan. Perjalanan dinas adalah hal yang cukup menyenangkan namun rasa penat akibat  perjalanan yang terlalu sering membuat jenuh. Ada kalanya aku merasa dinas luar yang kujalankan terlalu mengada ada karena materi yang di sampaikan atau materi yang di ajarkan sebenarnya cukup di kirim via email kantor. Belum lagi administrasi yang sangat ketat menjadikan kita bahkan tidak bisa sekedar makan dengan nikmat di bandara karena kecilnya biaya perjalanan yang di berikan.
Lama aku duduk di kursi tunggu bandara. Pandangan tertuju kepada sekelompok keluarga yang asik berkumpul, berbaring tanpa perduli suasana. Nampaknya mereka adalah pemudik menuju ke Jawa Timur, dapat aku ketahui dari logat bicaranya. Memang sejak murahnya biaya, hampir semua kalangan dapat bepergian dengan pesawat terbang. Keadaan ini menurutku sangat bagus dari sisi pemerataan namun kualitas pelayanan tetap harus menjadi hal utama, karena bisnis jasa adalah bisnis pelayanan, jika terus menerus mengedepankan pelayanan buruk satu hari mereka akan di tinggal pelanggannya.
Melepaskan kepenatan aku putuskan untuk menuju kantin bandara. Kantin sangat ramai dengan suasana orang orang yang tengah makan siang. Pandangan tertuju kepada seseorang yang tengah asik menyeruput segelas susu, dia seorang gadis berjilbab.
“Sendiri mbak,” tanyaku sambil duduk tak jauh di hadapannya.
Dia tersenyum, “iya mas,”katanya singkat.
“Kalau boleh tahu mau kemana.”
“Mau ke Jakarta, ada dinas luar.”
“Wah kebetulan mbak, saya juga ada tugas ke Jakarta,di hotel Milenium.”
“Saya juga mau ke sana.”katanya singkat dengan tersenyum. Ah rupanya kami menuju tempat tugas yang sama. Ternyata gadis tersebut berasal dari dinas pendidikan di Kutai Barat, 8 jam perjalanan dari kotaku Samarinda.
Dan kami pun kemudian terlibat dalam pembicaraan tentang banyak hal. Pembicaraan kami baru terhenti ketika panggilan untuk naik ke pesawat terdengar. Dan Pesawat Boeingdari Maskapai Garuda Indonesia segera membawa kami terbang membelah angkasa.
****
Semenjak 5 hari bersama dalam kegiatan di Jakarta itu komunikasi kami menjadi semakin akrab. Aku sering menanyakan kabar dan meneleponnya. Dan anehnya kami sama sama sering di tugaskan keluar Kaltim. Dan bandara Sepinggan adalah tempat di mana kami berdua sering berjanji untuk bertemu, seperti hari itu, 1 tahun setelah perkenalan kami.
“Wi, aku akan kerumahmu minggu depan untuk melamarmu dan minggu berikutnya kami akan datang lagi untuk pernikahan kita.” Dewi tersenyum sekali pun nampak terkejut.
“Ya, mas. Kami akan menunggu.” Hanya kata singkat itu yang terucap dari Dewi.
Kami masih menunggu di tempat favorit kami, dimana kami bisa memandangi pesawat yang turun naik dari landasan di bandara, memandangi pesawat pesawat dari Lion Air, Garuda Indonesia, Sriwijaya Air, Susi Air, Trigana Air. Namun hanya keheningan diantara kami berdua.
****
Ah, telah lama waktu berlalu 10 tahun tanpa terasa, dia kembali hadir di hadapanku. Pandangannya tajam menatap ke arahku, membuatku seolah membeku. Suasana bandara yang ramai tak mampu menghalangi berkecamuknya hatiku. Aku memang bersalah, aku telah meninggalkannya tanpa pesan. Aku pergi darinya pada hari dimana kami seharusnya berbahagia. Kubatalkan kedatangan kami kerumahnya untuk menikahinya.
Lama kami duduk tanpa saling bicara.
“Teganya mas meninggalkan aku, tanpa pesan.” Dewi memulai pembicaraan setelah keheningan yang lama menghampiri kami. Aku diam, kubiarkan dia mencurahkan isi hatinya.
“Mas biarkan aku sendiri tanpa sedikitpun memberi kabar. Aku memang bukan siapa siapa, cuma seseorang yang tak pernah ada harganya bagimu. Mas tahu, ayah sangat terpukul dengan kejadian hari itu, dan kemudian beliau sakit sakitan dan akhirnya pergi meninggalkan kami.”
Aku hanya terdiam tanpa sanggup berkata kata lagi. Kubiarkan air matanya menetes. Dan kami terus dihanyuti oleh berbagai kenangan di pikiran kami masing masing.
“Maafkan aku, Wi. Aku memang cuma seorang pengecut yang tidak mampu berkata jujur kepadamu, tidak berani menghadapimu. Sebenarnya hari itu kami sudah berangkat ke tempatmu sesuai rencana kita, namun kami mengalami kecelakaan hebat di jalan. Ayah dan ibu pergi karena kejadian itu, “ keluar juga akhirnya kata kata itu. Kata kata yang di sambut tangisan sangat keras oleh Dewi, sampai membuat orang orang di bandara menoleh kepada kami.
“Kenapa kamu diam, mas.” Hanya kata kata itu yang bisa keluar dari bibirnya.
“Maafkan aku, Wi. Aku jatuh karena kepergian ayah dan ibu dan aku menyalahkan diriku atas kejadian tersebut. Aku kemudian pergi jauh dari kota Samarinda dan meninggalkan semua.”
****
Akhirnya selesai juga perjalanan dinas luarku dari Yogyakarta. Bandara Sepinggan Balikpapanyang masih sangat ramai sekalipun malam telah larut. Sementara suasana Sepinggan masih sangat ramai, bandara yang menerbangkan 5,6 juta penumpang di tahun 2013 itu memang menjadi salah satu bandara tersibuk di Indonesia. Dengan perluasan bandara yang baru saja di selesaikan di harapkan ke depan Balikpapan akan benar benar menjadi pintu gerbang Kalimantan dan bahkan Indonesia timur karena kapasitas bandara Sepinggan menjadi 10 juta penumpang per tahun.
Ketika aku melangkah menuju taxi yang telah menarik narik, aku dikejutkan oleh suara itu, suara yang tak mungkin aku lupakan.
“Lho, koq kebetulan banget, Wi,” kataku singkat sembari duduk di taxi bandara yang akan membawa kami ke Samarinda. Bagaimana kalau aku antar kamu ke Kubar, biar aku bisa minta maaf ke ibumu dan keluargamu dan suamimu juga sekalian, “ kataku dengan serius.
“Suami yang mana, mas. Mas boleh ke Kubar kalau membawa istri dan anak anak mas,”kali ini Dewi yang berkata dengan serius.
“Wi, aku cuma mau minta maaf kepadamu, kepada ibumu dan semua keluargamu. Atas semua kesalahanku. Aku belum menikah, Wi. “
Dewi tampak kaget sekali, dia memandangi aku tanpa berkedip,“Aku juga belum, mas,” katanya singkat. Ganti aku yang terbengong bengong.
Taxi pun terus melaju semakin kencang meninggalkan bandara Sepinggan. Hanya keheningan dengan sejuta asa yang berkecamuk di benak kami berdua.
END