BUS

BUS
“Koran .... Koran....aqua.... aqua...jeruk..jeruk.” begitu kata pedagang asongan, terus lalu lalang seiring makin penuhnya kursi kursi di bus yang akan kutumpangi. Sudah sangat lama sekali rasanya aku tak bepergian dengan bus.
Bus belum berangkat, penumpang terisi satu satu, pedagang asongan terus hilir mudik menjajakan barangnya. Sementara itu pengamen pun akhirnya muncul, menjajakan suaranya.
***
“Mau kemana pak, “Tanyaku pada bapak tua yang duduk di sampingku.
“Ke Banjarmasin pak.” Kuperhatikan bapak tua itu, nampak demikian lusuh dan lelah.
“Oh sama pak, “kataku singkat.
Bus pun melaju di tengah kemacetan jalanan kota Samarinda. Kota Samarinda tengah berbenah, jembatan kembar yang di bangunnya menjadikan perjalanan dari dan menuju kota sedikit terganggu.
Kulihat semua penumpang telah asik dengan dirinya masing masing, ada yang langsung tertidur, ada yang bermain HP, ada pula yang saling mengobrol.
“Banjarmasin sekarang rame ya pak,”aku memancing pembicaraan.
“Biasa aja pak. Sekarang semua sepi, usaha usaha juga pada sepi.”
“Iya Pak. Tapi luar biasa tuh pak pasar batunya, pasar terapungnya, telur itik dan itik albinonya,” aku tersenyum mengatakannya karena memang aku pernah kesana beberapa kali.
Bapak tua itu cuma tersenyum.
“Sekarang semua sepi nak.  Pasar pasar, mall mall, bahkan pasar malam pun sekarang sepi pembeli. Gak tahu kenapa kita sekarang ini seperti dibiarkan menanggung semua sendiri, BBM, listrik, pajak pajak. Akibatnya semua merangkak naik. Semestinya pemerintah di adakan untuk melayani rakyat, kita kita ini. Kalau ada pemerintahan tapi tidak mau menanggung dan mengurusi kita untuk apa lalu ada mereka. Bayangkan dulu kita rata rata bisa membawa anak keponakan bersama kita untuk kita sekolah kana tau kuliahkan. Sekarang boro boro, untuk makan saja kita susah. “ Bapak tua itu mengomel tanpa henti. Aku tersenyum,tak kusangka bapak tua yang penampilannya lusuh itu bisa juga berbicara politik.
“Bayangkan subsidi subsidi semua di cabut. Seharusnya kan negara menanggung  kita dan bukannya kita yang membiayai negara.”Pak tua itu masih mengomel.
Aku cuma termenung, membenarkan perkataannya. Kami saja terus terang sangat jarang menginjakkan kaki di Mall, jika dulunya sebulan masih bisa sekali sekarang mungkin setahun cuma 3 sampai 4 kali.
“Ya pak, kami juga merasakan beratnya hidup sekarang. Yang penting kewajiban kewajiban tertunaikan, membayar listrik, air, sekolah anak,membeli bbm dan makan sehari hari. Urusan ke Mall dan wisata harus menunggu bila ada dana tersisa dalam beberapa bulan atau bahkan dalam setahun.”
“Enak dulu, kita semua di subsidi. Mestinya sekali lagi negara tidak boleh lepas tangan karena untuk hal itulah negara berdiri, mengayomi seluruh rakyatnya. Pembangunan insfrastruktur besar besaran kalau di pikir dengan sebab apa, jangan jangan semata mengejar proyek, bukan dengan maksud kemudahan rakyat, karenanya nyatanya ketika tol selesai di bangun lantas berpikiran untuk menjualnya. Listrik ketika surplus lalu kita hendak di paksa membelinya dengan mengubah daya rakyat sampai 4000 W. Berapa lagi kita harus membayar listrik nanti bila sekarang dengan beban kita harus mengeluarkan minimal 300 rb perbulan untuk daya hanya 900 W.”
“Ya mudah mudahan kita cepat berlalu dari kesusahan ini pak. “Hanya itu yang bisa kulakukan. Mengharapkan sesuatu yang aku tahu pasti sangat berat bisa terwujud dalam waktu dekat.
***
Bis terus melaju kencang membelah jalanan Kalimantan yang masih berhutan banyak di sebagian besarnya. Perjalanan ke Banjarmasin memerlukan waktu lebih dari 14 jam dari kota samarinda.
Bus tujuan Banjarmasin ini lumayan penuh. Sekali pun kini transportasi udara sudah banyak tersedia entah mengapa Bus tujuan Banjarmasin tetap ramai hari hari, mungkin segmen yang berbeda menjadikan masing masing moda transportasi ini tetap berjalan. Bus menjadi transportasi yang cukup murah, maka sekali pun kita harus penat dengan lamanya waktu perjalanan tetap saja bus menjadi alternatif utama. Belum lagi ditambah panasnya cuaca, bisingnya suara, dan di tambah aroma parpum penumpang yang beraneka ragam, kloplah pusing kepala kita karenanya. Jadilah waktu 14 jam seolah berabad abad lamanya.
***
Kepenatan sedikit terurai karena bus harus menyeberangi Feri di Karingau. Waktunya istirahat dan bisa menikmati pemandangan indah melintasi teluk Balikpapan. Kalau di pikir pikir Balikpapan Penajam lebih membutuhkan jembatan dari pada Samarinda yang kini sudah memiliki 3 jembatan membentang sungai Mahakam. Tapi entahlah apa pikiran mereka yang punya kuasa menentukannya. Jadilah sampai sekarang teluk Balikpapan terus ramai oleh lalu lalang klotok, speed dan fery dengan tujuan menyeberangkan penumpang, barang , sepeda motor dan bahkan mobil mobil besar . Jalanan darat selama 2 jam yang harus di tempuh dan jalanan yang tidak bagus membuat semua enggan memutar jalan darat Balikpapan Penajam.
***
Bus kembali melaju membelah jalanan penajam. jalanan sepanjang penajam, waru, Babulu, Long Kali, Long Ikis, Batu Kajang, Muara Komam lumayan bagus. Adalah rusak rusak sedikit, namun sudah jauh lebih baik di banding beberapa waktu lalu ketika aku melewatinya terakhir kali. Penajam Paser di kenal sebagai penghasil padi dan sawit. Babulu di penajam di kenal sebagai salah satu sentra penghasil beras terbesar di Kaltim. Sementara Long Ikis dengan keberadaan PTPN nya di kenal sebagai perintis usaha perkebunan sawit di Kaltim, jauh sebelum wilayah wilayah seperti Kubar dan Kutim memulainya. Tak heran di sepanjang jalan wilayah paser sangat banyak deretan pohon sawit menghampar.
***

Suara hiruk pikuk membangunkanku. Banjar banjar, demikian kernet bus yang kutumpangi membangunkan penumpang. Rupanya kami telah sampai. Ah, kembali ku ke sini akhirnya setelah lama waktu berlalu. Kota yang sangat indah, ramah dan penuh kesejukan karena banyaknya ulama ulama dan tradisi keislamannya yang sangat kuat. Kesinilah aku, berziarah kepada mereka.