DAJJAL, KISAH PERTEMUAN DENGAN NABI MUSA

Dajjal adalah Samiri yang menyesatkan umat nabi Musa
Kesaksian berikut ini merupakan kesaksian yg paling berbahaya, yakni pertemuan antara Nabi Musa dan Samiri. Di dalam kejadian akbar ini, terkandung rahasia paling besar menyangkut problematika Dajjal. Rahasia itu tersimpan begitu rapi dan tersembunyi seperti api pada kayu bakar.

Nabi Musa adalah sosok hamba Allah yg sangat fanatik dan berjiwa keras ketika sedang marah karena Allah. Bahkan, ia betul-betul seorang perkara di bumi ini jika sedang memperlihatkan kemarahannya. Saking besar kemarahannya karena Allah, ia sangat terpengaruh oleh kemarahannya itu sehingga tidak mengetahui kapan ia marah. Meskipun demikian, ketika ia kembali menemui kaumnya sesudah menemui Tuhannya dan melihat mereka menyembah patung anak lembu, padahal ia sedang memegang beberapa lembar batu tulis, ia pun melemparkannya. Karena peristiwa itu, ia dikatakan telah memecahkan batu tulis tersebut. Demikian pula penilaian dari ahli kitab. Namun, Allah menggantikannya dengan lembaran-lembaran lain. Hanya saja, tidak ada sesuatu pun dalam Alquran yg menunjukkan hal itu, walaupun ia memang melemparkannya ketika menyaksikan apa yg terjadi. Menurut ahli kitab, lemparan itu ada dua. Tetapi menurut versi Alquran, secara lahirnya, batu tulis itu berjumlah banyak. Nabi Musa tampaknya hanya terpengaruh dengan berita dari Allah SWT ihwal penyembahan patung anak lembu. Maka Allah SWT pun memerintahkannya untuk menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Oleh sebab itu, disebutkan dalam hadist yg diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibn Hibban dari Ibn 'Abbas. Ibn 'Abbas berkata bahwa Rasulullah saw. berbada, "Berita itu tidak seperti yg disaksikan oleh mata".
Bagaimanapun, entah lembaran batu tulis itu pecah atau tidak---dan saya cenderung mengakui tidak pecah---reaksi dari Nabi Musa dengan melemparkan batu tulis itu, menjadi dalil lain yg menambahkan kewaspadaanya, yg menguatkan betapa keras kemarahannya sampai suatu takaran yg melewati batas. Oleh sebab itu, ia sampai berani menarik kepala dan memegang janggut saudaranya, Harun.

Mungkin anda setuju dengan saya, bagi orang yg dikenal mempunyai watak keras dan pemarah seperti itu, tidaklah rasional, aneh, tidak sesuai dengan kewajaran, dan tidak sejalan dengan sifat-sifatnya yg digambarkan oleh Alquran kalau ia mengajak berbicara dengan Samiri dengan tutur kata sangat halus, santun, dan lemah-lembut. Malahan, awal perbincangannya pun hanya sekedar minta penjelasan tentang alasan yg mendorongnya melakukan fitnah sangat besar dan bagaimana ia berhasil dalam usahanya itu.

Mungkin anda juga setuju dengan saya bahwa Nabi Musa---yg melemparkan lembaran-lembaran batu tulis ketika menyaksikan Bani Israil ada disekitar anak lembu yg mereka buat sendiri---segera bereaksi dengan mengatakan bahwa ia tersesat dan mengingkari Allah. Apakah normal dan tidak aneh jika ia hanya berdialog dengan Samiri yg ada di depannya, dan tidak melakukan tindakan lainnya? Bukankah anda setuju dengan saya bahwa Nabi Musa memarahi saudaranya dengan menarik kepalanya, "Hai Harun, apakah yg menghalangimu memberitahukan aku ketika kamu melihat mereka telah tersesat sehingga tamu tidak mengikuti aku?" (Q.S. Thaha, 20:92-93) Apakah hal itu adalah reaksi keras Nabi Musa disertai ucapan dengan nada penuh kemarahan?

Bukankah kita telah biasa menengar bahwa jika Nabi Musa marah, maka seketika kut juga ia melampiaskan kemarahannya? Atau, ia marah, lalu kemarahannya itu diikuti dengan ucapan, kemudian melakukan tindakan lain dalam kesempatan lain, hatta kepada orang Mesir yg ditamparnya sampai mati?

Meskipun para ulama tafsir mengatakan bahwa kata al-khathb yg dipergunakan Nabi Musa dalam berdialog dengan Samiri menunjukkan betapa jeleknya bencana itu, yg jelas adalah bahwa Nabi Musa hanya mengucapkan kata-kata itu dan tidak melakukan tindakan apa pun. Kalau begitu, kita boleh menuliskan seribu tanda tanya. Semuanya tidak mungkin di benarkan kecuali hanya dalam satu keadaan, yakni bahwa tiadanya reaksi keras berupa tindakan lain---kecuali dialog dari Nabi Musa---hanyalah wahyu dari Allah kepadanya. Itulah sisa dialog yg tidak disebutkan Alquran. Diharapkan bahwa ia kembali menjelaskan wasiat khusus dari Allah kepadanya ketika melakukan dialog dengan Samiri, selain risalah yg disampaikan kepadanya.
Allah berfirman, Ia berkata: "Apa yg mendorongmu untuk melakukan (hal demikian), wahai Samiri?" Kata Al-khathb sebetulnya berarti urusan yg penting. Namun, gaya bahasa yg dipakai Nabi Musa yg dipakai dalam dialognya dengan Samiri betul-betul lembut, lunak, dan tenang seakan-akan ia berbicara dengan anaknya atau ia seperti berbincang-bincang dengan kedua putrinya Nabi Syu'aib, Musa bertanya: "Bagaimana keadaan kalian berdua?" Mereka menjawab, "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua renta yg telah lanjut usia." (Q.S. Qashash, 28:23). Samiri menjawab, "Aku mengetahui sesuatu yg mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari kelak rasul (ajaran-ajarannya) lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku." (Q.S. Thaha, 20:96).
Anehnya, jawabn Samiri mempunyai ekspresi dan penuturan yg keras, seakan-akan ia telah melakukan sesuatu yg menjadi haknya. Atau, seakan-akan ia telah mempunyai rencana sebelumnya untuk mengadakan uji coba kepada mereka. Ketika ada kesempatan, ia tidak berpikir panjang lagi dan langsung melakukannya. Dan ternyata berhasil.

Sekarang mulailah tabir dirinya terbuka. Ia mengaku mengetahui banyak hal yg tidak diketahui Bani Israil. Ia juga, dengan usia relatif panjang, memiliki banyak pengalaman yg belum diketahui dan dilalui Bani Israil yg relatif masih sangat muda itu. Sungguh, ia adalah seorang manusia luar biasa. Ia mempunyai banyak kekuatan yg tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Daya nalarnya pun telah jauh melampaui daya nalar kebanyakan Bani Israil. Ia mempunyai pemikiran cemerlang yg tidak mereka miliki. Bahkan, ia pun sampai  mengetahui beberapa akidah ilmiah---kimia dan fisika---yg memungkinkannya berinovasi dalam melakukan banyak hal yg tidak dapat dilakukan orang lain. Ia banyak belajar dari berbagai pengembaraanmya dalam usianya yg panjang itu. Ia pun telah memelihara peninggalan utusan Allah, malaikat Jibril yg diutus dari langit, sebagaimana diberitakan oleh seekor binatang raksasa yg rajin mengunjunginya dan mengawasi serta membimbingnya. Padahal, ketika itu ia masih kecil dan hidup di suatu pulau yg berada di jantung laut Yaman.
Dalam kitab Tafsir karya Ibn Jarir ath-Thabari disebutkan qira'at lain, yakni bashartu bi ma lam tubshiru bih (aku mengetahui apa yg belum kamu ketahui). Ucapan itu ditujukan kepada Nabi Musa dan para pengikutnya. Dengan pengertian lain, Samiri berkata kepada Nabi Musa demikian, "Aku mengetahui apa yg tidak engkau dan sahabat-sahabatmu ketahui." Tetapi, dalam kitab tafsir Mafatih al-Ghaib karya ar-Razi terkesan makna, "Aku melihat apa yg tidak mereka lihat." Menurut ar-Razi, kata ra'a dapat juga diartikan "mengetahui".

Di sini, Nabi Musa mulai menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang Dajjal. Ia juga diperintahkan oleh Allah untuk memperingatkan kaumnya dari fitnah yg akan ditimbulkannya. Jika saja Nabi Musa diberi kekuasaan untuk memeranginya, tentu ia akan menebas lehernya begitu melihat dan mengetahui wataknya yg buruk dan sangat biadab itu atau setelah menanyainya dan membuktikan alasan perbuatannya. Teristimewa lagi, Samiri terang-terangan mengaku bahwa dirinya bertanggung jawab penuh. Ia juga menyadari sepenuhnya bahwa ia telah dibujuk dan terpedaya oleh nafsunya sendiri.

Menanggapi pertanyaan Samiri itu, Nabi Musa hanya mengatakan, "Pergilah kamu!" Ya, Nabi Musa hanya menyuruhnya pergi dengan sepenuh kebebasan dan kemerdekaan. Ia tidak menyiksanya atau apakah membunuhnya. Ia tidak memenjarakannya, bahkan tak menahannya sesaat pun. Ia hanya menyuruhnya pergi. Ya, pergi untuk melancong di muka bumi kemana saja sesuai dengan kemauan dan kehendaknya. Ia bebas berhubungan dengan siapa saja. Ia bebas melakuklan apa saja dan dimana saja serta bergaul dengan siapa saja. Yg penting, ia bebas dan merdeka! "Sesungguhnya bagimu didalam kehidupan (di dunia ini).

Menurut para sarjana etimologi, al-ma'rifah, yg didalamnya ada alif lam untuk kata benda, dalam tiga bagian, yakni untuk mengenalkan al-ahd, sesuatu yg telah diketahui sebelumnya, untuk mengenalkan jenis, maupun untuk menerangkan istighraq. Yg ada dalam kata al-hayat adalah istighraq, yakni cakupan seri kehidupan macam apa pun yg ingin dilakukan oleh Samiri boleh dilakukan.

Artinya, segala macam seri kehidupan terbuka lebar untuk engkau lakukan. Engkau boleh bersenang-senang dan melalukakan apa saja seperti yg dilakukan binatang buas dan liar di hutan belantara dan di daratan. Engkau berhak melakukan apa saja yg engkau suka. Engkau boleh memilih jalan hidup yg engkau inginkan. Selamanya, engkau berhak mengatakan, "Jangan kau sentuh aku." Tak seorang pun boleh menyentuhmu untuk mengganggumu. Dan tak boleh ada yg membahayakanmu selama engkau masih diberi kesempatan hidup oleh Allah. Yg aneh ialah bahwa banyak ahli tafsir menangkap makna dari ungkapan, "Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya dapat mengatakan), 'Janganlah menyentuhku,' menyatakan bahwa Samiri mempunyai penyakit kulit yg ganas dan menular sehingga membikin takut orang untuk mendekatinya."

Ibn Katsir mengatakan, "Sebagaimana engkau telah mengambil dan menyentuh apa yg tidak pantas engkau ambil dan sentuh berupa kelak utusan Allah dari langit, maka siksaan bagimu di dunia adalah mengatakan, "Tidak boleh menyentuh.' Engkau tidak boleh menyentuh orang lain, dan orang lain pun tidak berhak menyentuhmu.
Dan termasuk hal yg aneh dari Ibn Katsir, semoga Allah meridhai dirinya dan ijtihadnya, ialah bahwa Samiri pantas dihukum karena ia telah menyentuh jejak utusan Allah dan mengambilnya, bukan karena ia telah memfitnah Bani Israil. Padahal, jika seseorang berkesempatan seperti Samiri, melihat Jibril dan kudanya, serta mengetahui bahwa kudanya itu---jika menyentuh tanah---akan menjadikan tanah itu subur, maka ia pasti akan mengambil jejak rasul itu, meskipun tidak pernah mempunyai niat untuk melakukan suatu kejahatan.

Sayyid Quthb mengatakan bahwa, Pergilah kamu, karena kamu telah terusir. Dan tak boleh ada yg menyentuhmu dengan kejahatan, atau pun dengan (memberikan) kebaikan. Dan kamu pun tidak berhak untuk menyentuh seseorang, adalah salah satu bentuk siksaan yg berlaku dalam agama Islam pada masa Nabi Musa, yakni siksaan pengasingan. Di samping adanya pernyataan mengenai ketidakbersihan seorang penjahat, maka ia tidak boleh mendekati, dan tidak boleh didekati orang lain.
Bagian pertama apa yg dikatakan Sayyid Quthb memang benar. Namun, bagian kedua masih bisa dikritik. Sebab, lapangan atas Samiri untuk tidak menyentuh seseorang tidaklah rasional. Jika ia diusir dari Bani Israil dan itu tidak terjadi, maka ia masih berhak bergaul dengan yg lain. Jika Nabi Musa menyiksanya dengan pengasingan, yg demikian itu menguatkan pandangan saya bahwa Samiri telah meninggalkan Bani Israil dan bahwa Nabi Musa tidak melakukan apa-apa, selain menyampaikan bahwa ia berhak mengenyam kehidupan dengan penuh keleluasaan. Akan tetapi, ia harus pergi jauh dan menjauhi Bani Israil serta tak seorang pun boleh menyentuhnya. Jika ada orang yg berusaha menyentuhnya dengan menimpakan sesuatu kejahatan, maka ia berhak mengatakan, "La misasa (tidak boleh menyentuhku)." yakni tidak boleh ada yg bertindak sewenang-wenang kepadaku dan tidak boleh seorang pun mendekatiku untuk menggangguku. Barangsiapa mencoba menggangguku, maka ia tidak akan berkuasa.
Imam ar-Razi mempunyai pendapat yg bagus. Pada intinya, ucapan Nabi Musa kepada Samiri itu adalah, Sesungguhnya aku menjadikanmu dalam golongan orang-orang terusir, dengan pengertian bahwa jika kamu ingin memberitahukan pada orang lain tentang keadaanmu, maka engkau hanya mengatakan, "Tidak boleh menyentuhku."
Pendapat ar-Razi itu saya setujui karena mendekati kebenaran. Samiri memang betul-betul terusir dai Bani Israil dengan kata, "Pergilah!." Pengusiran itu tidak sama dengan siksaan. Jika ia disiksa oleh Nabi Musa, maka ia hidup dalam keadaan tidak baik.
Alasannya ialah tobat bagi mereka yg telah mencoba menyembah patung anak lembu adalah dengan cara saling membunuh seperti diisyaratkan Alquran. Apakah logis jika siksaan bagi pelaku fitnah, yg memalingkan orang dari penyembahan kepada Allah, hanya berupa pengusiran saja? "Dan sesungguhnya bagimu ada janji (hukuman) yg kamu sekali-kali tidak dapat mengingkarinya" (Q.S. Thaha, 20:97). Kebebasanmu tidak mutlak karena akan ada yg memberikan siksaan kepadamu dan membunumu. Hingga kini, waktunya yg tertentu hanya diketahui oleh Allah SWT. "Maka sesungguhnya bagi kamu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya dapat) mengatakan: "Tidak boleh menyentuh (aku)." (Q.S. Thaha, 20:97)

Atas dasar itu, Rasulullah saw. menolak memberikan izin kepada 'Umar bin Khaththab untuk membunuh Ibn Shayyad yg ketika itu disangka sebagai Dajjal. Ia bermohon, "Biarkan aku menenggak lehernya, wahai Rasulullah!" Rasulullah saw. menjawab, "Jika benar ia adalah Dajjal, maka engkau tidak mempunyai kekuasaan atasnya. Tetapi jika ia bukan Dajjal, maka tidak ada manfaatnya bagimu membunuhnya." (Al-Qurthubi dalam karyanya at-Tadzkirah).

Dalam sahih Muslim disebutkan hadist panjang dari Jabir bin 'Abdullah: Maka berkatalah 'Umar bin Khaththab, "Berilah aku izin untuk membunuhnya, wahai Rasulullah!" Rasulullah saw. bersabda, "Jika benar ia adalah Dajjal, maka kamu bukan tandingannya. Lawannya adalah Nabi 'Isa. Tetapi jika ia bukan Dajjal, maka engkau tidak berhak membunuh seorang dari ahl al-ahd."
Abu Dawud ath-Thayalisi meriwayatkan dalam Musnad-nya, sebagaimana disebutkan dalam al-Jami' ash-Shaghir susunan Imam as-Suyuthi, bahwa al-'Alqami berkata: Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Tidak ada seorang pun punya kekuasaan untuk mengatasi Dajjal kecuali Nabi 'Isa bin Maryam".
Bahkan Imam Mahdi yg akan melawan Dajjal tidak sanggup membunuhnya sendirian. Yg akan membunuh Dajjal, dengan izin Allah dan pada saat yg telah ditentukan serta tidak dapat diingkari adalah Nabi 'Isa al-Masih, yg akan melenyapkan kepribadian Dajjal sampai punah.

Pikirkan, wahai pembaca budiman, sekali lagi: Dan sesungguhnya bagimu ada janji (hukuman) yg kamu sekali-kali tidak dapat menhindari (mengingkari)-nya. Tidak diragukan lagi bahwa janji hukuman itu berlaku didunia ini, sesuai dengan pengetahuan Allah SWT. Sebab, seperti dimaklumi bersama, terjadinya kiamat merupakan janji yg tidak dapat dihindari oleh semua makhluk Allah dan tentunya bukan janji khusus untuk Samiri saja. Janji yg tidak dapat diingkari itu keras sekali dan berkaitan dengan perkataan sebelumnya, yakni ia boleh pergi dengan bebas tanpa ada yg menyentuhnya.

Dajjal bebas bergerak dan menentukan pilihan. Tidak akan ada yg mampu mengalahkan Dajjal kecuali pada saat janji hukuman yg telah di tentukan. Nabi Musa pernah berkata seperti kepada orang zalim, "Kamu mempunyai satu hari." Tetapi satu hari yg dimaksud bukanlah satu hari pada hari kiamat." Demikianlah kata para ulama tafsir. Kita semua termasuk dalam janji hari Kiamat. Janji itu bukan janji khusus yg tidak dapat diingkari. Janji ini berlaku pada suatu zaman yg bukan zaman Nabi Musa, sebagaimana dipahami dari nashsh. Jika tidak, Musa memiliki hubungan lain dengannya. Namun, Dajjal tidak bersentuh pada zaman Nabi Musa. Jadi ia tersentuh pada zaman lain. Wallahu a'lam.

"Dan lihatlah Tuhanmu itu yg kamu tetap menyembahnya, sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya kedalam laut (berupa abu yg berserakan). Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yg tidak ada Tuhan selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu." (Q.S. Thaha, 20:97-98).
Patung yg pembuatannya dipimpin Samiri dan didesain secara khusus ini dibakar oleh Nabi Musa dan dihanbur-hamburkannya ke laut. Nabi Musa membakarnya karena patung itu bukan hanya sekadar emas, melainkan juga berupa daging dan darah sebelumnya, meskipun hal itu hanya diperlakukan secara khayalan belaka seperti pengaruh sihir pada indera atau dengan perantaraan jejak rasul yg disalahgunakan. Sebab, emas akan bertambah jika dibakar atau dicairkan diatas api. Akan tetapi, Nabi Musa tidak menginginkan apa pun. Oleh karena itu, ia membakarnya sampai menjadi abu dan kemudian membuangnya ke Laut Merah. Nabi Musa menjadikannya abu yg berhamburan di hadapan kaum Bani Israil dan di hadapan Samiri sendiri. Hal itu dilakukan untuk menyadarkan mereka semua bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, Yg mengetahui segala sesuatu yg ada dahulu, sekarang, dan yg akan datang.
Sangsi berdiri sambil menitipkan tuhannya yg telah dihancurkan. Sementara itu, Nabi Musa mengajak kaumnya untuk pergi menuju lembah di Sina. Kemudia Samiri berdiri dipinggir pantai Laut Merah seraya menitipkan Bani Israil. Ia berkata pada mereka, "Sampai berjumpa lagi, wahai Bani Israil pada saat Musa tidak ada."