RIDHO KEPADA KETENTUAN ALLAH

NABI Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda, “Akan merasakan kelezatan iman, orang-orang yang merelakan Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Rasulnya.” (HR Muslim)
Seorang mukmin tidak akan bisa ridha kecuali jika di dalam hatinya ada perasaan tawakkal sepenuhnya kepada AllahSubhanahu Wa Ta’ala. Derajat ridha merupakan derajat yang sangat mulia dan mahal. Karena itulah Allah tidak mewajibkannya kepada para hamba-Nya, tetapi menjadikannya sebagal hal yang sunnah dan memuji orang yang mampu menyandangnya. Tidak hanya sampai di situ, Allah juga mengabarkan bahwa balasan dari ridha adalah keridhaan dari-Nya, suatu hal yang lebih besar, lebih agung, dan lebih mulia dari surga beserta isinya.
Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Sebelum keridhaan seorang hamba, ada sebuah keridhaan yang sumbernya berasal dari Allah. Keridhaan yang dimiliki seorang hamba pada dasarnya buah dari keridhaan-Nya. Karena itulah, ridha merupakan pintu Allah yang paling besar, surga dunia, dan tempat beristirahat bagi orang-orang yang mengetahui. Selain itu, ridha juga merupakan kehidupan bagi orang-orang yang mencintai, kenikmatan bagi orang-orang yang beribadah, dan dambaan hati bagi orang-orang yang sedang merindukan kekasih.”
Seorang mukmin yang saleh, ketika ia telah berhasil mencapai tingkatan ridha, maka ia tak akan pernah merasa kaget dengan hukum atau keputusan Allah macam apa pun. Sebaliknya, ia akan menerima semua keputusan-Nya dengan penuh kebahagiaan.
Umar bin Al-Khathab pernah menulis pesan kepada Abu Musa yang bunyinya, “Amma ba’du. Sesungguhnya seluruh kebaikan itu ada dalam ridha. Oleh karena itu, jika kamu mampu maka ridhalah dan jika kamu tidak mampu maka bersabarlah.”
Ada cara khusus untuk melatih diri agar mampu mencapai tingkatan ridha tersebut. Cara tersebut, sebagaimana dikatakan orang-orang saleh adalah thuma`ninah (tenang). Barangsiapa selalu melatih dirinya untuk thuma’ninah, niscaya ia akan terbiasa dengan ridha.
Dalam hal ini Allah telah berfirman, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (Al-Fajr: 27-28)
Seorang mukmin saleh yang ridha (merelakan) Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, Muhammad sebagai Rasulnya, dan ridha tersebut telah bersemayam dalam sanubarinya, niscaya ketenangan tersebut juga akan bersemayam dalam tubuh dan hatinya. Selain itu, hatinya akan menjadi sejuk dan tenang serta segala kesusahan akan hilang. Bahkan, ridha tersebut akan menghadirkan ketenangan dalam hati orang-orang yang beriman, sedangkan orang yang hatinya tenang, amal-amalnya akan istiqamah dan keadaannya akan menjadi lebih baik.
Ridha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan sumber sebuah kebijaksanaan. Barangsiapa telah berhasil mencapai derajat ridha, niscaya akan lahir sebuah kebijaksanaan dari lisannya.
Pada suatu ketika Sufyan Ats Tsauri, Wahib bin Al-Ward, dan Yusuf bin Asbath sedang berkumpul. Ats Tsauri berkata, “Sebelum hari ini aku tidak ingin mati mendadak. Adapun hari ini, aku ingin mati secepatnya.”
“Mengapa?” tanya Yusuf.
“Karena aku takut dengan fitnah,” ujar Ats Tsauri.
“Akan tetapi, aku tak menolak jika diizinkan hidup lama di dunia. Barangkali suatu saat nanti aku bisa bertaubat dan beramal saleh,” kata Yusuf.
Keduanya kemudian bertanya kepada Wahib, “Bagaimana menurut pendapatmu?”
“Aku tidak memilih apa pun. Aku lebih suka pada apa yang dikehendaki oleh Allah,” kata Wahib.
Ats Tsauri kemudian berkomentar, “Demi Allah, itu sungguh sebuah statemen yang keluar dari jiwa yang dalam.”
Husain bin Ali juga pernah berkata, “Barangsiapa percaya pada baiknya pilihan Allah, maka dia tidak akan pernah mengharapkan selain yang telah dipilihkan Allah untuknya.”
Al-Fudhail juga berkata, “Ridha itu lebih mulia daripada zuhud dari dunia karena orang yang ridha tidak akan mengharapkan posisi yang lebih tinggi
PERBEDAAN antara sabar dan ridha, bahwa sabar adalah menerima keputusan Tuhan dengan disertai perasaan menderita. Hanya saja, seorang mukmin yang sabar akan menanggung penderitaan tersebut karena Allah.
Adapun Ridha adalah menerima keputusan Tuhan tanpa adanya perasaan menderita, bahkan terkadang disertai perasaan bahagia.
Ridha lebih agung dari surga, sebagaimana firman Allah, “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga `Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar. Itu adalah keberuntungan yang besar.” (At-Taubah: 72)
Ibnu Abi Ad-Dunya pernah berkata, “Ikutilah kehendak takdir, kemana pun ia pergi, niscaya itu akan membuat hati Anda lebih lapang dan bisa mengurangi ambisi.”
Ibnul Qayyim juga pernah berkata, “Aku pernah mimpi melihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Aku kemudian menyebutkan salah satu amalan hati –aku sendiri tak mengingatnya secara persis apa jenis amal tersebut– yang sangat aku agungkan dan aku ambil manfaatnya. Beliau kemudian berkata, “Adapun aku, maka cara yang akan aku tempuh adalah berbahagia dengan (keputusan) Allah.” Atau ia berkata dengan redaksi lain yang semakna dengan itu. Begitulah beliau selama hidupnya.”
Ada orang yang bertanya kepada Yahya bin Muadz, “Kapan seorang hamba bisa meraih tingkatan ridha?”
Dia menjawab, “Jika ia telah menetapi empat perkara dalam berhubungan dengan Tuhannya. Yaitu ketika ia berkata, “Jika Engkau memberikan karunia maka aku akan menerimanya, jika Engkau menghalangiku maka aku akan merelakannya, jika Engkau meninggalkanku maka aku akan menyembah-Mu, dan jika Engkau memanggilku maka aku akan memenuhi panggilan-Mu itu.”
Bagaimana cara untuk meraih tingkatan ridha?
1. Ridha kepada Allah sebagai Rabb, yaitu ridha dengan pengaturan-Nya, tawakal kepada-Nya, serta memohon pertolongan kepada-Nya.
2. Ridha kepada Allah sebagai Ilah, yaitu ridha dengan mencintai-Nya, takut kepada-Nya, dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya.
3. Ridha dengan Nabi-Nya, yaitu dengan cara mengikutinya, tunduk kepadanya, dan mencintainya melebihi cintanya kepada dirinya sendiri.
4. Ridha dengan agama-Nya, yaitu ridha dengan hukum-hukum dan syariat yang telah ditetapkan agama serta tunduk kepadanya meskipun harus bertentangan dengan hawa nafsunya.
Allah berfirman, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)