Dalam konteks mutu dan penjaminan mutu,
permasalahan-permasalahan yang masih dihadapi adalah seperti berikut ini:
1.
Masalah yang terkait dengan makna penjaminan mutu:
banyak terjadi kesalahpahaman ditingkat
satuan pendidikan mengenai penjaminan mutu. Misalnya, sertifikat ISO yang
diperoleh satuan pendidikan berbagai tingkatan dipandang sebagai legitimasi
yang tinggi bahwa satuan pendidikan
bersangkutan telah mendapat jaminan dan pengakuan internasional mengenai mutu
pendidikan yang dimilikinya. Padahal ISO merupakan standar layanan, bukan
lembaga penjaminan mutu pendidikan, terutama yang terkait dengan praktek
akademik satuan pendidikan;
• delapan Standar Nasional Pendidikan
(SNP) belum dipahami secara utuh dan belum mampu diterapkan dengan baik dan
luas oleh setiap program dan/atau satuan pendidikan;
• visi, misi, dan program yang
dirumuskan serta dimiliki oleh setiap satuan pendidikan seringkali bersifat
abstrak dan kurang berkorelasi dengan kegiatan peningkatan dan penjaminan mutu
program dan/atau satuan pendidikan.
2.
Masalah yang terkait dengan regulasi:
adanya berbagai peraturan pendidikan
yang kurang progresif, konsisten, dan terintegrasi sehingga relatif menyulitkan
bagi pihak-pihak berkepentingan dalam pelaksanaan penjaminan mutu;
belum adanya standar mutu internal, ‘key
performance indicators’, dan sasaran mutu akademik dan non-akademik di setiap
jenjang, jalur, dan jenis pendidikan yang siap memacu mutu pendidikan;belum
adanya pengembangan sistem penilaian kinerja secara berjenjang, mulai dari
kinerja institusi, unit, dan individu;
BSNP belum menyiapkan penjabaran standar
secara menyeluruh untuk semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan yang akan
menjadi dasar penyelenggaraan penjaminan mutu.
3. Masalah yang terkait dengan penentuan dan
implementasi kebijakan penjaminan mutu:
peningkatan mutu pendidikan belum
berjalan dengan baik dan terpadu terutama di tingkat satuan pendidikan;
keberadaan satuan pendidikan bertaraf
internasional belum jelas tolak ukurnya dan belum melalui assessment oleh badan
akreditasi nasional/internasional;
praktik program dan/atau satuan
pendidikan dan/atau kelas internasional di Indonesia selama ini lebih bersandar
pada rezim perizinan yang dikeluarkan oleh birokrasi pendidikan, bukan
berdasarkan akreditasi. Di negara-negara maju, hal itu dilakukan berdasarkan
hasil akreditasi oleh badan akreditasi independen dan profesional.
4.
Masalah yang terkait dengan esensi data:
data mutu pendidikan yang terjamin
akurasi, kelengkapan, dan updating-nya belum dikelola dengan baik oleh program
dan satuan pendidikan, unit kerja di lingkungan Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kota/Kabupaten, dan unit-unit utama di lingkungan Pemerintah;
data mutu pendidikan belum dianalisis
oleh pemangku kepentingan, walaupun seringkali digunakan untuk perumusan serta
implementasi kebijakan, program, dan penganggaran pendidikan. Penggunaan data
yang mentah sifatnya dan belum “bunyi” dalam pengambilan kebijakan berdampak
pada rendahnya mutu serta tidak tepatnya kebijakan yang dirumuskan dan
dilaksanakan saat ini;
• belum terbangunnya budaya proses
pengambilan keputusan berdasarkan data. Di tingkat satuan pendidikan,
pengambilan keputusan lebih berdasarkan keinginan, otoritas, dan apa yang
menjadi bayangan pemimpin satuan pendidikan serta berdasarkan tuntutan dari
birokrasi pendidikan (pusat dan daerah) dan tidak banyak mengacu pada realitas
obyektif;
• hasil pemetaan mutu pendidikan belum
dimanfaatkan secara optimal untuk penentuan kebijakan, penyusunan program dan
alokasi anggaran pendidikan;
• monitoring dan evaluasi internal di
setiap satuan pendidikan belum berjalan optimal sehingga menghasilkan data
dasar untuk perbaikan mutu berkelanjutan.
5. Masalah yang terkait dengan kejujuran/
obyektivitas:
Program
dan/atau satuan pendidikan kurang jujur dalam mengevaluasi dirinya, sehingga peringkat
mutu yang ada dan dipublikasikan selama ini belumlah sepenuhnya terpercaya;
hasil akreditasi yang dilakukan oleh badan akreditasi terhadap satuan
pendidikan, baik di tingkat program studi, jurusan maupun institusi, belum
mencerminkan kenyataan
yang sesungguhnya. Sikap kompromi dan
pertimbangan-pertimbangan subyektif (tetapi merasa perlu ditempuh) masih turut
berbicara dalam kegiatan akreditasi;
• kegiatan penjaminan mutu kurang
ditopang aspek pembiayaan yang memadai, sehingga mengganggu tingkat kejujuran,
obyektivitas, profesionalitas, dan kesungguhan kerja unit penjaminan mutu dan
badan akreditasi.
6.
Masalah yang terkait dengan kelembagaan:
belum terlalu jelasnya pembagian peran
dan fungsi antar lembaga terkait serta antara pemerintah pusat dan daerah dalam
penyelenggaraan pendidikan;
kapasitas pemerintah daerah masih sangat
bervariasi dan belum terstandarisasi prosedur dan operasionalnya dalam
menjalankan penjaminan mutu pendidikan;
penjaminan mutu cenderung ditekankan
pada tingkat program dan/atau satuan pendidikan semata, tetapi kurang
menekankan peran pemerintah dan pemerintah daerah di dalamnya. Padahal program
dan/atau satuan pendidikan, terutama swasta, masih membutukan fasilitasi dan
peran pemerintah dalam proses penjaminan mutu;
siklus penjaminan mutu (internal dan
eksternal) masih terpisah dan belum berjalan secara sinergis untuk penjaminan
dan peningkatan mutu berkelanjutan melalui RKS dan RKAS;
sangat banyak – untuk tidak mengatakan
semua – program dan/atau satuan
pendidikan yang tidak memiliki sistem
dan organisasi penjaminan mutu internal;
• belum melembaganya tim pengembang pada
program dan/atau setiap satuan pendidikan. Kalaupun ada program dan/atau satuan
pendidikan yang memiliki tim pengembang, pada umumnya masih pada tataran
formalitas dan belum berfungsi sebagaimana diharapkan;
• fungsi pemetaan dan fasilitasi oleh
lembaga pembinaan penjaminan mutu belum terintegrasi dan berjalan
efektif;
• lembaga akreditasi seperti BAN-S/M
belum mampu berkoordinasi dalam mengakreditasi program dan satuan pendidikan
secara menyeluruh dan berkelanjutan dan melakukan kolaborasi dalam menjamin
pelayanan akses terhadap data mutu pendidikan kepada publik untuk penelitian
dan pengembangan mutu pendidikan;
• lembaga evaluasi eksternal atau
akreditasi selain BAN seperti ABET, ACCB, Cambridge Examination Syndicate dan
lain-lain belum diatur secara baik dalam bentuk prosedur operasional standar
dan dikembangkan untuk percepatan dan perluasan akreditasi mutu setiap satuan
pendidikan;
• RSBI, SBI, dan kelas-kelas
internasional belum memiliki standar keinternasionalannya (terakreditasi secara
internasional) dan belum menegakkan akuntabilitasnya.
7. Masalah yang terkait dengan budaya mutu:
budaya mutu belum tumbuh dan berkembang
secara optimal dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan;
kurangnya kesadaran (awereness) dan
komitmen pemimpin satuan pendidikan dan penyelenggara pendidikan di daerah
maupun pengelola pendidikan di pusat terhadap pentingnya penjaminan mutu.
8. Masalah yang terkait dengan layanan
khusus:
penjabaran standar untuk Pendidikan
Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) belum diatur penjaminan mutunya;
penjaminan mutu untuk pendidikan jarak
jauh dalam berbagai bentuk misalnya berbasis modul dan e-learning belum
berjalan secara efektif;
penjaminan mutu untuk pendidikan
keagamaan sesuai dengan PP No. 55/2007 belum berjalan secara efektif;
penjaminan mutu pendidikan informal
belum ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan yang ada.
9. Masalah yang terkait dengan standar mandiri:
belum dikembangkannya standar mandiri
dalam sistem penjaminan mutu pendidikan. Standar mandiri sesungguhnya penting
dikembangkan, mengingat selain ada program dan satuan pendidikan negeri juga
terdapat program dan satuan pendidikan swasta, dan dalam praktik standar
mandiri itu dikembangkan program dan satuan pendidikan tertentu;
• program dan satuan pendidikan
kebanyakan belum mampu merumuskan dan menentukan standar mutu pendidikan
(akademiknya) sendiri, sehingga proses pembelajaran berlangsung tanpa target
yang pasti dan titik ukuran yang konsisten untuk memantau kemajuan yang sedang
dilakukan sekarang dan akan dicapai secara berkelanjutan di masa mendatang.
10. Masalah yang terkait dengan akuntabilitas
publik:
penjaminan mutu yang ada dan berlangsung
selama ini belum memasukan dan mempertimbangkan akuntabilitas publik di dalamnya,
sehingga masyarakat seperti kehilangan hak, kesempatan, proporsi, dan kurang
terlindungi dalam penjaminan mutu pendidikan;
program dan/atau satuan pendidikan
kurang terbuka dalam menjelaskan dan mempublikasikan hasil evaluasi dirinya;
badan-badan akreditasi kurang terbuka
dalam mengumumkan secara rinci ke publik mengenai proses, metode, ukuran,
indikator, dan hasil akreditasi yang dilakukan.
11. Masalah yang terkait dengan keengganan
melakukan penjaminan mutu:
ada kecenderungan program dan/atau satuan
pendidikan seperti tidak memiliki waktu untuk melakukan penjaminan mutu
internal dan atau evaluasi diri karena sudah terlalu disibukan oleh rutinitas
yang cukup padat. Mereka umumnya juga kurang memiliki motivasi dalam melakukan
evaluasi diri;
• kegiatan penjaminan mutu seringkali
dipandang sebagai beban yang memberatkan dan merepotkan program dan/atau satuan
pendidikan dan belum menerapkan sanksi dan penghargaan terhadap kinerja setiap
program dan/atau satuan pendidikan;
• kegiatan penjaminan mutu tidak jarang
dilakukan karena merasa ada semacam ancaman internasional, termasuk semakin
banyaknya peserta didik berbakat dari keluarga kaya yang lebih memilih belajar
di luar negeri daripada di dalam negeri. Ada pula yang melakukannya hanya dalam
rangka mendapatkan bantuan Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau lembaga
internasional dalam melaksanakan RSBI, SBI atau program dan satuan pendidikan
berkeunggulan lokal lainnya
12. Masalah yang terkait dengan kepentingan
dan pragmatisme elite:
di daerah-daerah, program dan/atau
satuan pendidikan – terutama di tingkat pendidikan dasar dan menengah –
seringkali diintervensi oleh birokrasi pendidikan (Dinas Pendidikan), dan tak
jarang pula pendidik dan tenaga kependidikan yang menjadi alat politik dari
elite kekuasaan lokal. Intervensi elite kekuasaan dan birokrasi dapat dan telah
mengganggu konsentrasi program dan satuan pendidikan dalam mencapai dan
memelihara pendidikan yang bermutu tertentu.