Daftar
Tanya Jawab Kebijakan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN)
Mengapa pemerintah
mengganti USBN?
USBN
dikembalikan pada esensinya, yaitu asesmen akhir jenjang yang dilakukan oleh
guru dan sekolah. Kelulusan siswa pada akhir jenjang memang merupakan
wewenang sekolah yang didasarkan pada penilaian oleh guru. Hal ini sesuai
dengan UU Sisdiknas dan juga prinsip pendidikan bahwa yang paling memahami
siswa adalah guru.
Selain
itu, asesmen akhir jenjang oleh sekolah memungkinkan penilaian yang lebih
komprehensif, yang tidak hanya didasarkan pada tes tertulis pada akhir tahun.
Hal ini juga mendorong sekolah untuk mengintensifkan dan memperluas pelibatan
guru dalam semua tingkat dalam proses asesmen.
Apa ganti USBN?
Gantinya
adalah ujian yang dikelola tiap-tiap sekolah. Ujian tersebut dapat
dilaksanakan dalam beragam bentuk asesmen sesuai dengan kompetensi yang
diukur.
Seperti apa pelaksanaan
ujian sekolah pengganti USBN?
Dari
sisi bentuk ujian, guru boleh dan diharapkan menggunakan beragam
bentuk asesmen. Hal ini bisa berupa tes tertulis seperti saat ini. Namun guru
juga disarankan menggunakan asesmen bentuk lain seperti penugasan, portofolio
siswa, dan project kolaboratif.
Dari sisi waktu
pelaksanaan, asesmen yang menjadi bagian dari ujian ini tidak selalu harus
dilakukan di penghujung tahun ajaran sebagaimana ujian konvensional selama
ini. Misalnya, nilai ujian akhir jenjang bisa didasarkan pada penilaian
portofolio dan penugasan yang dilakukan sejak semester ganjil.
Kedua
perubahan ini memungkinkan kompetensi siswa dinilai secara lebih
komprehensif. Perubahan ini juga memungkinkan penilaian yang lebih
terdiferensiasi, sesuai dengan kebutuhan individual siswa.
Bagaimana jika guru merasa
kurang siap melakukan penilaian akhir jenjang?
USBN
memposisikan sebagian besar guru sebagai penerima dan pengguna tes yang
dikembangkan oleh pemerintah pusat dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
di bawah koordinasi dinas pendidikan daerah. Semua siswa dan semua sekolah
dalam satu daerah terikat untuk menggunakan bentuk ujian sama.
Hal
ini menghambat kemerdekaan guru untuk belajar melakukan asesmen. Dengan
mengembalikan kewenangan penilaian akhir jenjang pada sekolah, guru didorong
untuk mulai dan secara terus menerus mengembangkan kapasitas profesionalnya
terkait asesmen.
Selain
itu, membuat soal tes tertulis yang bermutu memang tidak mudah. Kabar
baiknya, penilaian akhir jenjang tidak harus mengandalkan tes tertulis. Guru bisa
menggunakan beragam bentuk
asesmen
yang sesuai dengan kompetensi yang diukur, termasuk bentuk asesmen yang lebih
dikenal oleh masing-masing guru.
Apa peran yang diharapkan
dari dinas pendidikan?
Dinas
Pendidikan tidak lagi mengkoordinasi atau memfasilitasi penyelenggaraan ujian
yang seragam. Peran Dinas diharapkan bergeser ke arah pengembangan kapasitas
guru dan sekolah guna meningkatkan mutu pembelajaran.
Apa konsekuensi kebijakan
baru ini pada guru?
Guru
menjadi lebih merdeka dalam mengajar dan melakukan asesmen siswa. Guru dapat
melakukan asesmen yang lebih sesuai untuk kebutuhan siswa dan situasi
kelas/sekolahnya. Hal ini juga mendorong guru untuk terus mengembangkan
kompetensi profesionalnya, terutama terkait asesmen siswa.
Apa konsekuensi kebijakan
baru ini bagi sekolah?
Sekolah
perlu mendukung praktik asesmen yang baik, yakni asesmen yang berdampak
positif pada proses dan hasil belajar siswa. Hal ini bisa dilakukan dengan
memfasilitasi guru untuk berkolaborasi mengenai strategi asesmen yang tepat
bagi siswa dan kondisi sekolah masing- masing.
Apa konsekuensi kebijakan
baru ini bagi siswa?
Tekanan
psikologis bagi siswa akan berkurang karena asesmen dapat dilakukan secara
lebih komprehensif, tidak hanya pada waktu spesifik di akhir tahun ajaran
seperti praktik selama ini. Siswa bisa memiliki lebih banyak kesempatan, dan
melalui lebih banyak cara, untuk menunjukkan kompetensinya.
Daftar Tanya Jawab Kebijakan Ujian Nasional (UN)
Apa kebijakan baru tentang
UN?
Mulai
tahun 2021 UN akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei
Karakter. Kedua asesmen baru ini dirancang khusus untuk fungsi pemetaan dan
perbaikan mutu pendidikan secara nasional.
Mengapa 2020 akan menjadi
tahun terakhir bagi UN?
Pertama,
UN lebih banyak berisi butir-butir yang mengukur kompetensi berpikir tingkat
rendah. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan pendidikan yang ingin
mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi serta kompetensi lain yang
lebih relevan dengan Abad 21, sebagaimana tercermin pada Kurikulum 2013.
Kedua, UN kurang
mendorong guru menggunakan metode pengajaran yang efektif untuk mengembangkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi. Asesmen kompetensi pengganti UN akan
dirancang memberi dorongan lebih kuat ke arah pengajaran yang inovatif dan
berorientasi pada pengembangan penalaran, bukan hafalan.
Ketiga, UN kurang
optimal sebagai alat untuk memperbaiki mutu pendidikan secara nasional.
Karena dilangsungkan di akhir jenjang, hasil UN tidak bisa digunakan untuk
mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa dan memberi bantuan yang sesuai
dengan kebutuhan tersebut.
Apa akan mengganti UN?
Asesmen kompetensi pengganti UN mengukur kompetensi bernalar yang
dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah di berbagai konteks, baik
personal maupun profesional (pekerjaan). Saat ini kompetensi apa saja yang
akan diukur masih dikaji, namun contohnya adalah kompetensi bernalar tentang
teks (literasi) dan angka (numerasi).
Selain itu, Kemdikbud juga akan melakukan survei untuk mengukur
aspek-aspek lain yang mencerminkan penerapan Pancasila di sekolah. Hal ini
mencakup aspek-aspek karakter siswa (seperti karakter pembelajar dan karakter
gotong royong) dan iklim sekolah (misalnya iklim kebinekaan, perilaku bullying, dan kualitas pembelajaran).
Karena fungsi utamanya adalah sebagai alat pemetaan mutu, asesmen
kompetensi dan survei pembinaan Pancasila ini belum tentu dilaksanakan setiap
tahun, dan belum tentu harus diikuti oleh semua siswa.
Tanpa UN, bukankah siswa
kurang termotivasi untuk belajar?
Menggunakan
ancaman ujian untuk mendorong belajar akan berdampak negatif pada karakter
siswa. Jika dilakukan terus menerus, siswa justru akan menjadi malas belajar
jika tidak ada ujian. Dengan kata lain, siswa menjadi terbiasa belajar
sekedar untuk mendapat nilai baik dan menghidari nilai jelek. Hal ini membuat
siswa lupa akan kenikmatan intrinsik yang bisa diperoleh dari proses belajar
itu sendiri.
Padahal,
motivasi belajar intrinsik inilah yang justru sangat perlu dikembangkan agar
siswa agar menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Tanpa UN, apakah siswa
tidak menjadi orang yang kurang gigih?
UN adalah alat untuk melakukan monitoring dan evaluasi mutu sistem
pendidikan. Fungsi UN bukan untuk melatih keuletan atau kegigihan.
Sifat-sifat ini tidak dapat dibentuk secara instan di akhir jenjang
pendidikan melalui ancaman ketidaklulusan atau nilai buruk. Sifat seperti
kegigihan hanya dapat ditumbuhkan melalui proses belajar yang memberi
berbagai tantangan bermakna secara berkelanjutan.
Butuh
waktu bertahun-tahun untuk bisa membuat sifat seperti kegigihan menjadi
bagian dari karakter siswa.
Mengapa hanya difokuskan
pada literasi dan numerasi?
Literasi dan numerasi adalah kompetensi yang sifatnya general dan
mendasar. Kemampuan berpikir tentang, dan dengan, bahasa serta matematika
diperlukan dalam berbagai konteks, baik personal, sosial, maupun profesional.
Dengan mengukur kompetensi yang bersifat mendasar (bukan konten kurikulum
atau pelajaran), pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa guru diharapkan
berinovasi mengembangkan kompetensi siswa melalui berbagai pelajaran melalui
pengajaran yang berpusat pada siswa.
Apakah berarti pelajaran
selain bahasa dan matematika tidak penting?
Fokus
asesmen adalah kompetensi berpikir, sehingga hasil pengukuran tidak sekedar
mencerminkan prestasi akademik pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika
saja. Literasi dan numerasi justru bisa dan seharusnya memang dikembangkan
melalui berbagai mata pelajaran, termasuk IPA, IPS, kewarganegaraan, agama,
seni, dst.
Pesan
ini penting dipahami oleh guru, sekolah, dan siswa untuk meminimalkan risiko
penyempitan kurikulum pada pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika.
Jika apa yang diukur tidak
terikat pada konten kurikulum, bagaimana kaitan antara asesmen ini dengan standar pendidikan?
Betul bahwa asesmen ini tidak terikat secara erat dengan konten
kurikulum. Namun tidak berarti bahwa asesmen ini sama sekali terlepas dari
kurikulum. Dari sisi konten, asesmen literasi dan numerasi tentu
memperhatikan apa yang (seharusnya) diajarkan oelh guru pada tiap kelas dan
jenjang pendidikan. Hanya saja, asesmen ini tidak dimaksudkan untuk mengukur
penguasaan siswa atas konten kurikulum secara keseluruhan.
Pada prinsipnya,
penguasaan kurikulum secara utuh hanya bisa dinilai oleh guru menggunakan
sumber informasi yang beragam dari interaksi sehari-hari dengan siswa.
Terlebih lagi, kurikulum tiap sekolah bisa berbeda karena masing-masing
memiliki kewenangan untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan visi dan
karakteristik
siswanya.
Siapa yang akan menjadi
peserta asesmen pengganti UN?
Asesmen
kompetensi baru akan dilakukan pada siswa yang duduk di pertengahan jenjang
sekolah, seperti kelas 4 untuk SD, kelas 8 untuk SMP, dan kelas 11 untuk SMA.
Dengan dilakukan pada tengah jenjang, hasil asesmen bisa dimanfaatkan sekolah
untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa. Dengan dilakukan sejak
jenjang SD, hasilnya dapat menjadi deteksi dini bagi permasalahaan mutu
pendidikan nasional.
Apakah perubahan ini
berdampak pada siswa SD?
Perlu
diketahui bahwa saat ini pun tidak ada UN pada jenjang SD. Dengan demikian,
penghentian UN tidak berdampak pada siswa SD. Seperti yang dipaparkan pada
poin sebelumnya, sebagian siswa SD akan mengikuti asesmen kompetensi baru.
Namun asesmen baru ini dirancang agar tidak memiliki konsekuensi bagi siswa.
Karena itu, asesmen baru tidak menjadi beban tambahan bagi siswa SD.
Tanpa UN, bagaimana
mengukur ketercapaian standar nasional pendidikan?
Perlu
dipahami bahwa UN itu sendiri bukan merupakan standar. UN merupakan instrumen
asesmen yang membantu menilai pencapaian sebagian standar nasional
pendidikan. Karena itu, menghapus UN bukan berarti menghilangkan standar
pendidikan.
Sebagaimana
disebutkan di atas, UN akan diganti dengan asesmen lain yang memang dirancang
sebagai alat pemetaan mutu pendidikan nasional. Hasil asesmen pengganti UN
tersebut akan menjadi indikator bagi ketercapaian standar nasional pendidikan
di tiap daerah.
Jika tidak terikat pada
Asesmen yang
dilakukan oleh otoritas (dalam hal ini Kemendikbud)
konten kurikulum,
berpotensi dipandang sebagai
beban tambahan karena guru dan
apakah asesmen ini akan
sekolah ingin memperoleh hasil
yang baik. Meski demikian,
menjadi tambahan
sebenarnya asesmen literasi dan
numerasi ini bukan beban tambahan.
beban bagi siswa/guru di
Yang diukur oleh asesmen ini
bukanlah penguasaan konten tambahan
luar kurikulum yang ada?
yang perlu diajarkan di luar
kurikulum yang ada. Seperti telah
disebutkan sebelumnya, kompetensi
literasi dan numerasi bisa dan
perlu dikembangkan melalui semua
mata pelajaran.
Jika digunakan untuk
menilai efektivitas sekolah, apakah asesmen baru tidak berdampak negatif pada
siswa?
Harus diakui bahwa asesmen baru dapat dianggap bersifat high stakes bagi guru dan sekolah.
Jika itu terjadi, asesmen baru berpotensi memiliki dampak negatif seperti
mendorong adanya tekanan dari guru pada siswa untuk mendapat skor tinggi,
serta anggapan bahwa
pelajaran yang dianggap tidak
relevan untuk asesmen ini kurang
penting.
Dampak
seperti ini akan dimitigasi melalui berbagai cara. Yang pertama adalah
rancangan kebijakan yang menekankan pada pemberian dukungan dan sumberdaya
sesuai kebutuhan sekolah, bukan hukuman dan hadiah. Kedua, akan tersedia
asesmen yang sama
dalam
versi yang dapat digunakan oleh guru sebagai bagian dari pengajaran
sehari-hari. Versi “asesmen mandiri” ini juga akan dilengkapi dengan petunjuk
pedagogis dan sumberdaya belajar yang relevan untuk mengembangkan kompetensi
siswa sesuai levelnya.
Apa dampak asesmen baru
bagi siswa?
Asesmen
kompetensi pengganti UN akan dirancang agar tidak memiliki konsekuensi bagi
siswa. Misalnya, pelaksanaan pada pertengahan jenjang (bukan akhir jenjang)
membuat hasil asesmen kompetensi tidak relevan untuk menilai pencapaian
siswa. Hasilnya juga tidak relevan untuk seleksi memasuki jenjang sekolah
yang lebih tinggi. Dengan demikian, asesmen ini tidak akan menjadi beban
tambahan bagi siswa, di luar beban belajar normal yang sudah dijalani.
Apa dampak asesmen pada
guru dan sekolah?
Analisis
dan laporan hasil asesmen kompetensi akan dibuat agar bisa dimanfaatkan guru
dan sekolah untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Hal ini dimungkinkan
karena asesmen baru akan didasarkan pada model learning progression (lintasan belajar) yang akan menunjukkan
posisi siswa dalam tahapan perkembangan suatu kompetensi.
Laporan hasil
asesmen juga akan dirancang agar tidak menjadi ancaman bagi guru dan sekolah.
Pemerintah menyadari bahwa baik buruknya pencapaian siswa dipengaruhi oleh
faktor pengajaran (proses di sekolah) maupun faktor-faktor di luar sekolah,
seperti lingkungan rumah dan gaya pengasuhan orangtua. Karena itu
keberhasilan guru atau sekolah tidak akan dinilai berdasarkan level
kompetensi siswa di satu waktu. Keberhasilan guru/sekolah akan lebih
didasarkan pada perubahan dan kemajuan yang dicapai dibanding waktu asesmen
sebelumnya.
Hasil
asesmen justru akan digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan sekolah.
Kemdikbud akan mengalokasikan dukungan – misalnya dalam bentuk alokasi SDM
dan/atau dana – sesuai dengan kebutuhan tiap sekolah.
Apa dasar hukum penggantian
UN dengan asesmen baru?
UU
Sisdiknas secara eksplisit memberi mandat kepada pemerintah – melalui lembaga
mandiri – untuk melakukan evaluasi mutu sistem pendidikan nasional. Asesmen
pengganti UN akan menjadi instrumen untuk melayani fungsi tersebut.
Selain
itu, pengadilan Negeri Jakarta pada 2007, dan kemudian Mahkamah Agung (MA)
pada 2009, menilai bahwa UN tidak adil bagi siswa yang berada di sekolah
dan/atau daerah yang kekurangan sumberdaya. MA memerintahkan pemerintah untuk
“meninjau
kembali
sistem pendidikan nasional”. Dengan merancang asesmen baru yang berfungsi
untuk pemetaan mutu serta umpan balik bagi sekolah, tanpa ada konsekuensi
pada siswa, pemerintah secara otomatis telah mematuhi putusan hukum MA
mengenai UN.
Daftar Tanya Jawab Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP)
Apa yang menjadi
pertimbangan penyederhanaan RPP?
Guru-guru
sering diarahkan untuk menulis RPP dengan sangat rinci sehingga banyak
menghabiskan waktu yang seharusnya bisa lebih difokuskan untuk mempersiapkan
dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri.
Apa yang dimaksud dengan
prinsip efisien, efektif dan berorientasi pada murid?
·
Efisien berarti penulisan RPP
dilakukan dengan tepat dan tidak menghabiskan banyak waktu dan tenaga.
·
Efektif berarti penulisan RPP
dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
·
Berorientasi pada murid berarti
penulisan RPP dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan, ketertarikan, dan
kebutuhan belajar murid di kelas.
Apakah RPP dapat dibuat
dengan singkat, misalnya hanya satu halaman?
Bisa
saja, asalkan sesuai dengan prinsip efisien, efektif, dan berorientasi kepada
murid. Tidak ada persyaratan jumlah halaman.
Apakah ada standar baku
untuk format penulisan RPP?
Tidak
ada. Guru bebas membuat, memilih, mengembangkan, dan menggunakan RPP sesuai
dengan prinsip efisien, efektif, dan berorientasi pada murid.
Bagaimana dengan format RPP
yang sudah dibuat guru?
·
Guru dapat tetap menggunakan
format RPP yang telah dibuatnya.
·
Guru dapat pula memodifikasi
format RPP yang sudah dibuat sesuai dengan prinsip efisien, efektif, dan
berorientasi kepada murid.
Berapa jumlah
komponen dalam RPP?
·
Ada 3 komponen inti, yaitu
tujuan pembelajaran, langkah- langkah pembelajaran (kegiatan), dan penilaian
pembelajaran (asesmen). Komponen-komponen lainnya adalah pelengkap.
·
Tujuan pembelajaran ditulis
dengan merujuk kepada kurikulum dan kebutuhan belajar murid. Kegiatan belajar
dan asesmen dalam RPP ditulis secara efisien.
Daftar Tanya Jawab Kebijakan Zonasi Tahun Ajaran
2020/2021
Perubahan
Aturan
Apa perubahan yang paling nyata
dari peraturan yang baru?
Dalam
Permendikbud terbaru terkait PPDB, Pemerintah Pusat memberikan fleksibilitas
daerah dalam menentukan alokasi untuk siswa masuk ke Sekolah melalui jalur
zonasi, jalur afirmasi, jalur perpindahan orangtua/wali, atau jalur lainnya
(dapat berupa jalur prestasi). Persentasenya pun berubah menjadi sebagai
berikut:
Permendikbud PPDB Sebelumnya
(Permendikbud
No. 51 Tahun 2018 jo Permendikbud No. 20
Tahun 2019)
Permendikbud
PPDB Terbaru (Permendikbud No. 44 Tahun 2019)
- Jalur zonasi minimal 80%
-
Jalur prestasi maksimal 15%
-
Jalur perpindahan orangtua/wali
maksimal 5%
- Jalur zonasi minimal 50%
-
Jalur afirmasi minimal 15%
-
Jalur perpindahan orangtua/wali
maksimal 5%
-
Jika ada sisa kuota, jalur
prestasi dapat dibuka, bisa berdasarkan UN ataupun prestasi akademik dan non-
akademik lainnya. Jalur ini, dengan demikian, maksimal
30%
Aturan
PPDB ini dirancang agar daerah bisa menyesuaikan aturan berdasarkan
karakteristik dan kebutuhannya. Itulah mengapa jalur zonasi dan afirmasi ini
secara eksplisit disebutkan proporsi minimal
untuk memudahkan daerah dengan tetap dan atau menambah persentase jalur
prestasi tersebut jika dibutuhkan.
Setelah
menentukan kuota jalur Zonasi, kuota jalur afirmasi, dan seterusnya, daerah
secara transparan harus menjelaskan ketentuan PPDB masing-masing kepada
masyarakat, terutama pemangku kepentingan yang berkaitan dengan ketentuan ini.
Pemerintah Daerah juga sebaiknya menjelaskan kepada publik latar belakang
penetapan proporsi dari masing-masing jalur tersebut, sebagai bagian dari
akuntabilitas dan transparansi kepada publik. Dinas Pendidikan juga diminta untuk
melaporkan ketentuan yang dibuat serta pelaksanaan PPDB kepada Kemendikbud,
agar bisa dilakukan monitor dan evaluasi pelaksanaan Permendikbud.
Mengapa perlu
perubahan Permendikbud terkait PPDB?
Perubahan
ini dilakukan setelah mempelajari beragam implementasi PPDB pada tahun-tahun
sebelumnya di tingkat Pemerintah daerah. Meskipun Permendikbud PPDB yang
terdahulu (Permendikbud No 51 Tahun 2018 dan Permendikbud No 20 Tahun 2019)
telah menetapkan secara tegas terkait persentase tiap jalur, namun dalam
penerapannya Pemerintah Daerah membuat ketentuan PPDB utamanya pada jalur
zonasi
dengan mekanisme yang berbeda-beda, bahkan tidak sesuai dengan persentase minimal pada ketentuan PPDB sebelumnya. Hal ini mengindikasikan perlunya tinjauanulang dalam membuat ketentuan yang agar dapat diterapkan daerah sesuai
dengan kebutuhannya, dengan catatan daerah terus meningkatkan akses dan mutu
pendidikan agar seluruh anak dapat belajar di sekolah yang bermutu.

Bagaimana dengan daerah yang sudah
menerapkan ketentuan Jalur Zonasi sebesar 80% sesuai dengan Permendikbud PPDB
sebelumnya (Permendikbud No 51
Tahun 2018,
Permendikbud No 20
Tahun 2019)?
Permendikbud
PPDB yang baru ini tidak akan membuat ketentuan daerah yang sudah menerapkan
jalur zonasi sebanyak 80% dengan tertib menjadi sia-sia. Pemerintah Pusat
memberikan batas minimal 50% untuk setiap jalur penerimaan peserta didik baru,
yang artinya Daerah yang sudah menerapkan jalur zonasi sebanyak 80%,
selanjutnya tinggal mengimplementasikan jalur lainnya sesuai dengan ketentuan
Permendikbud terbaru tersebut.
Jika yang bermasalah dalam
mengatur PPDB adalah Pemerintah Daerah, mengapa Pemerintah Pusat perlu
mengganti aturan?
Pemerintah Pusat tidak bisa menyeragamkan pengelolaan PPDB ini.
Fungsi Pemerintah Pusat dalam hal ini adalah sebagai fasilitator, bukan
sebagai regulator yang tidak memperhatikan kondisi dan kebutuhan di daerah. Pemerintah Pusat memfasilitasi
Daerah untuk mengelola sistem pendidikan agar setiap anak di daerah tersebut
dapat mengakses pendidikan bermutu, dan sistemnya lebih berkeadilan sosial.
Dalam pelaksanaan evaluasi pelaksanaan PPDB di daerah, ditemukan bahwa
Pemerintah Daerah kesulitan melakukan pemetaan jumlah usia anak sekolah yang
sedang mengikuti PPDB dan jumlah daya tampung yang tersedia di Sekolah,
sehingga dalam penerapannya cukup sulit dilaksanakan PPDB dengan jalur zonasi
dengan persentase yang cukup besar. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat sangat
mengapresiasi Pemerintah Daerah yang telah mampu menghitung dan memenuhi daya
tampung serta mutu yang baik merata di seluruh Sekolah. Oleh karena itu
Pemerintah Pusat memberikan aturan yang lebih fleksibel kali ini, sembari
mendorong Pemerintah Daerah untuk melakukan pemetaan dengan data yang tepat,
meningkatkan akses melalui daya tampung Sekolah yang mencukupi, dan
meningkatkan mutu pendidikan di setiap Sekolah agar kualitas pendidikan yang
tinggi dapat dirasakan oleh seluruh anak Indonesia.
Mengapa Pemerintah Pusat
menyarankan pelibatan sekolah swasta?
Data yang dikeluarkan Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan
Kebudayaan (PDSPK) menunjukkan bahwa jumlah sekolah negeri pada jenjang SMP
lebih sedikit dibandingkan SMA, bahkan lebih dari 60% SMA adalah sekolah
swasta. Membangun sekolah negeri baru untuk meningkatkan akses pendidikan
bukan langkah yang ekonomis untuk dilakukan dalam waktu dekat. Setiap
tahunnya, siswa yang lulus dan siap masuk SMA, tanpa menunggu proses
pembangunan gedung sekolah. Rencana menambah jumlah sekolah negeri adalah
rencana yang baik dan patut dilakukan pemerintah daerah. Namun selama ini
sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat yang berbiaya rendah juga sangat
berperan dalam membuka akses pendidikan, sehingga kemitraan dengan Dinas
Pendidikan akan menjadi solusi yang baik bagi kedua belah pihak.
Dalam
upaya pelibatan sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat, Pemerintah
Daerah sebaiknya mempertimbangkan kualitas layanan di sekolah yang
diselenggarakan oleh masyarakat, sebelum Pemerintah Daerah melibatkan sekolah
tersebut dalam skema PPBD.
Apa yang diharapkan
Pemerintah Pusat dari Pemerintah Daerah, terkait dengan PPBD dan akses
pendidikan?
Dalam pelaksanaan PPDB melalui Jalur Zonasi yang sudah dilaksanakan
sebelumnya, data menunjukkan bahwa jumlah daya tampung Sekolah Negeri tidak
cukup untuk menerima seluruh siswa yang mendaftar pada Sekolah jenjang
berikutnya melalui PPDB. Hal ini mendorong daerah memberikan intervensi dalam
pemenuhan layanan pendidikan di daerahnya, karena pada dasarnya Pendidikan adalah
Layanan Dasar sebagaimana ketentuan dalam UU Pemerintahan Daerah.
Memenuhi hak akses pendidikan perlu menjadi prioritas, namun perlu
disadari bahwa membangun Unit Sekolah Negeri Baru memerlukan langkah yang
cukup panjang dengan membutuhkan pembebasan lahan, durasi pembangunan yang
lama, dan adanya keterbatasan anggaran negara. Sekolah Swasta dapat menjadi
alternatif dalam pemenuhan daya tampung, juga sebagai bentuk kolaborasi
antara Pemerintah dengan masyarakat. Kolaborasi ini dapat diupayakan sembari
pemenuhan pendidikan utamanya bagi yang tidak mampu dipenuhi oleh Pemerintah
Daerah, dapat berupa subsidi biaya, bantuan operasional, maupun mekanisme
lainnya.
Mengapa tidak
PPDB jalur Zonasi
yang diatur dalam Permendikbud yang baru
menyerahkan
bertujuan untuk meningkatkan
akses pendidikan yang berkualitas
sepenuhnya saja kepada
tanpa diskriminasi. Selain itu,
pendidikan yang bermutu adalah hak
Daerah untuk mengelola
setiap anak Indonesia yang harus
dipenuhi Pemerintah. Artinya,
PPDB?
kualitas pendidikan harus merata.
Oleh karena itu, untuk memastikan
bahwa tujuan ini dapat dicapai,
Pemerintah Pusat mengatur beberapa
aturan dan batasan, yaitu dengan
adanya jalur zonasi dan jalur
afirmasi yang memiliki batasan
minimal serta jalur perpindahan orang
tua yang memiliki batasan
maksimal untuk setiap jalur penerimaan
peserta didik, dan apabila masih
ada sisa dapat digunakan untuk jalur
prestasi.
Mengapa Pemerintah Daerah
perlu melaporkan aturan dan hasil Pelaksanaan PPDB kepada Pemerintah Pusat?
Pelaksanaan PPDB yang dilakukan Pemerintah Daerah penting untuk
dilaporkan kepada Pemerintah Pusat, hal ini dikarenakan segala kebijakan PPDB
yang diterapkan oleh Pemerintah Daerah adalah data bagi Pemerintah Pusat
untuk memahami mekanisme pemenuhan akses pendidikan di daerah, dengan
tantangan yang berbeda-beda
sesuai dengan karakteristik
daerah masing-masing. Melalui PPDB ini
pun dapat dipetakan data
pemenuhan akses anak terhadap
pendidikan. Hal ini juga
memudahkan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam
memberikan keputusan ketika menghadapi
tantangan yang ada di sekolah
sesuai dengan kebutuhannya masing-
masing.
Terkait dengan pengumuman
kebijakan PPDB, apakah informasi ini perlu disampaikan juga kepada warga
masyarakat walaupun mereka tidak berkepentingan secara langsung dengan
penerimaan siswa baru?
Ya, pendidikan adalah tanggung jawab bersama, dan perlu menjadi
perhatian seluruh warga masyarakat, tidak hanya orangtua yang mendaftarkan
anaknya sekolah saja. Kepedulian masyarakat dapat mendorong pemerintah untuk
meningkatkan pemerataan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang
berkualitas.
Proporsi Jalur PPDB
Mengapa menggunakan batas
minimum untuk jalur zonasi dan jalur afirmasi?
PPDB adalah suatu proses yang sangat perlu memperhatikan konteks
lokal, misalnya berapa banyak sekolah negeri di suatu wilayah, berapa banyak
anak usia SD yang akan melanjut ke SMP, serta dari SMP ke SMA, berapa banyak
anak penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) di daerah tersebut, berapa banyak
yang kondisi ruang kelasnya rusak, dan sebagainya. Akan lebih efisien, sesuai
konteks, dan tepat sasaran apabila masing-masing Daerah yang mengatur
regulasi PPDB yang disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan
masing-masing daerah. Hal ini juga selaras dengan semangat otonomi daerah,
Pemerintah Pusat memberikan Norma, Standar, Pedoman, dan Kriteria sesuai
dengan UU Pemerintahan Daerah sebagai rambu- rambu yang digunakan oleh
Pemerintah Daerah.
Apa yang dimaksud dengan
jalur afirmasi?
Jalur
afirmasi disediakan untuk siswa yang menerima program penanganan keluarga
tidak mampu dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah (misalnya penerima
KIP). Jalur ini merupakan komitmen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
untuk meningkatkan layanan akses pendidikan berkualitas untuk anak-anak dari
keluarga tidak mampu. Pemerintah Daerah dapat menentukan proporsi siswa yang
diterima melalui jalur ini dengan mengacu pada persentase siswa yang menerima
program penanganan keluarga tidak mampu dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah di daerah tersebut.
Jika ada calon peserta
didik penerima KIP namun secara domisili peserta didik yang bersangkutan juga
bisa masuk melalui jalur zonasi, jalur mana yang akan diikutinya?
Jalur
afirmasi, jika kuota afirmasi belum terpenuhi untuk sekolah tersebut. Hal ini
dilakukan agar siswa dalam zona yang tidak menerima program penanganan
keluarga tidak mampu dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah tidak
terhalangi untuk masuk ke sekolah tersebut. Dengan demikian, kesempatan yang
diberikan pemerintah pada siswa dari keluarga tidak mampu sedapat mungkin
tidak merugikan siswa dari kelas sosial lainnya.
Persentase minimum untuk
jalur zonasi hanya 50%, ini lebih kecil daripada proporsi di Permendikbud
Nomor 51
Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada
Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah
Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan sebagaimana diubah dengan
Ada
dua alasan utama terkait hal ini. Pertama, Pemerintah Pusat mendengar
beberapa masukan dari Pemerintah Daerah untuk mencapai jalur zonasi dengan
batas minimum 80% mengalami kesulitan. Karena khawatir tidak mencapai angka
tersebut, satuan zona diperbesar. Bahkan wilayah satu kota menjadi satu zona,
tidak dibagi menjadi beberapa zona karena khawatir ada sekolah yang tidak
mendapatkan siswa. Jika satu zona sudah sebesar wilayah administrasi Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota, maka esensi dari PPDB melalui jalur zonasi ini
menjadi tidak jelas. Dengan adanya aturan yang tidak seketat dahulu,
diharapkan Daerah lebih optimis bahwa tujuan PPDB melalui jalur zonasi ini
dapat diwujudkan.
Kedua, yang tidak
kalah pentingnya adalah masalah kondisi sekolah di Indonesia yang masih belum
merata kualitasnya. Demikian pula penyebaran guru yang berkualitas tinggi
juga masih belum merata.
Permendikbud Nomor 20
Tahun 2019 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51
Tahun 2018 tentang
Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan.
Apa pertimbangan Pemerintah
Pusat tentang hal ini?
Menurut
data terakhir Kemendikbud, ruang kelas yang kondisinya tergolong baik tidak
mencapai 50% di seluruh Indonesia. Artinya lebih banyak ruang kelas yang
rusak dibandingkan yang baik. Pemerintah Daerah perlu melakukan berbagai
upaya untuk mengatasi tentang masalah ini, begitu juga dengan akses
pendidikan yang semakin sulit dicapai anak-anak miskin di jenjang yang lebih
tinggi. Namun demikian, Pemerintah Daerah pasti perlu waktu untuk memperbaiki
kondisi ruang kelas dan pendistribusian guru berkualitas, disisi lain siswa
lulus dari sekolah setiap tahun tanpa henti, tidak bisa menunggu ruang kelas
direnovasi atau guru berkualitas dirotasi. Maka jangan sampai kebijakan untuk
pemerataan pendidikan mengorbankan anak.
Apakah penurunan % siswa
yang masuk melalui sistem zonasi ini menandakan bahwa Pemerintah kurang
berpihak pada anak-anak miskin yang biasanya hanya jadi “penonton” sekolah
“favorit” di lingkungannya?
Pemerintah
terus berkomitmen pada pemerataan kualitas pendidikan, namun jangan sampai
kebijakan tersebut mengorbankan anak. Asumsi bahwa dengan dibatasi wilayah
maka anak miskin dapat mengakses pendidikan berkualitas juga belum tentu
berlaku di semua wilayah.
Tidak mustahil dengan adanya
zonasi yang ketat anak-anak dari
keluarga
miskin yang berpotensi tinggi justru “terjebak” untuk masuk sekolah yang ada
di dekat rumahnya, yang sebenarnya kualitasnya kurang baik. Namun ini semua
masih berlandaskan asumsi, kita perlu data empiris dan analisis yang lebih
sistematis untuk memastikan bahwa aturan PPDB tidak merugikan kelompok
tertentu.
Kedua,
secara eksplisit ada jalur afirmasi yang disyaratkan oleh Pemerintah Pusat.
Hal ini menunjukkan komitmen pada pemerataan kesempatan pendidikan untuk
anak-anak dari keluarga tidak mampu.
Apakah penurunan % zonasi
ini menandakan bahwa “sekolah favorit” akan dipertahankan?
Tidak,
pertimbangan tentang batas minimum jalur zonasi dan jalur afirmasi tidak ada
hubungannya dengan favoritisme. Sebelum kebijakan zonasi diterapkan, kita
tidak bisa benar-benar mengatakan bahwa ada sekolah unggulan karena yang
unggul adalah input siswanya. Mereka sudah tersaring ketat, sehingga di suatu
sekolah yang mendapat label “unggulan” atau “favorit” ini siswanya cenderung
homogen, yaitu mayoritas siswa dengan capaian akademik yang tinggi. Karena
umumnya mereka dari keluarga kelas menengah sampai dengan kelas atas,
dukungan belajar di luar sekolah untuk anak-anak ini juga lebih baik,
misalnya ikut Bimbingan Belajar, kursus bahasa asing, dan sebagainya.
Sehingga output dari sekolah itu pun menjadi unggulan. Kita ingin semua
sekolah unggul, sama baiknya.
Setiap anak mendapat kesempatan belajar di ruang kelas yang baik
kondisinya dan diajar oleh guru yang kompeten. Sebelum kebijakan zonasi
diterapkan, hanya siswa tertentu saja yang berkesempatan
demikian.
Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, tidak boleh membuat aturan yang
mendiskriminasi kelompok tertentu.
Mengapa jalur prestasi
disediakan maksimal 30% saja?
Kembali
ke tujuan besar dari PPDB adalah untuk pemerataan kesempatan pendidikan, di
mana akses terbuka untuk semua anak, maka jalur prestasi yang terlalu besar
bisa menjauhkan kita dari tujuan tersebut. Daerah tidak harus membuka jalur
ini, karena mungkin akses sekolah sudah sangat besar dari segi suplai, maka
semua anak dalam zona sudah bisa tertampung.
Satuan wilayah zonasi
Apakah ada perubahan
peraturan terkait penghitungan satuan wilayah zonasi?
Pemerintah
Daerah perlu menetapkan satuan wilayah zonasi, seberapa luasnya serta berapa
banyak wilayah zonasi yang ada di wilayah administrasinya. Hal ini dilakukan
dengan cara memetakan jumlah dan domisili calon peserta didik baru, daya
tampung sekolah, dan jumlah sekolah yang diselenggarakan masyarakat yang akan
disertakan dan sekolah yang berbasis agama. Data ini seharusnya ada di
tingkat daerah.
Ada kasus di mana anak
tinggal di wilayah perbatasan, harus masuk ke sekolah yang lebih jauh karena
masuk dalam zonanya. Padahal lebih dekat jika bersekolah di zona yang
berbeda.
Kasus ini sudah ada jalan
keluarnya?
Ini
adalah hal yang perlu diperhitungkan Pemerintah Daerah ketika membuat zona.
Harusnya kasus seperti ini tidak banyak, karena jika banyak artinya metode
penetapan zonanya keliru. Oleh karena tidak banyak, hal-hal seperti ini
seharusnya bisa diselesaikan Pemerintah Daerah, melalui musyawarah yang
hasilnya demi kebaikan anak.
Dampak PPDB saat ini
Sistem PPDB saat ini
menyebabkan guru kesulitan mengajar karena capaian akademik siswanya terlalu
beragam. Sebaiknya apa yang dilakukan sekolah?
Ketika PPDB berlandaskan pada hasil tes, sekolah memang lebih
homogen. Menjadi tidak adil ketika terdapat sekolah homogen yang mayoritas
siswanya siap belajar dan orangtua mereka siap untuk mendukung anak belajar,
sementara di sekolah lainnya berkumpul siswa dengan kondisi yang sebaliknya.
Guru yang efektif
adalah guru yang mampu menggunakan berbagai strategi dan pendekatan dalam
mengajar anak-anak dengan kemampuan yang berbeda-beda. Salah satu hal yang
bisa dilakukan adalah meningkatkan kapasitas guru-guru dalam menggunakan
pendekatan yang beragam (differentiated
instruction). Mendidik semua anak tanpa diskriminasi adalah tugas setiap
satuan pendidikan.
Daftar Tanya Jawab Kebijakan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN)
Mengapa pemerintah
mengganti USBN?
|
USBN
dikembalikan pada esensinya, yaitu asesmen akhir jenjang yang dilakukan oleh
guru dan sekolah. Kelulusan siswa pada akhir jenjang memang merupakan
wewenang sekolah yang didasarkan pada penilaian oleh guru. Hal ini sesuai
dengan UU Sisdiknas dan juga prinsip pendidikan bahwa yang paling memahami
siswa adalah guru.
Selain
itu, asesmen akhir jenjang oleh sekolah memungkinkan penilaian yang lebih
komprehensif, yang tidak hanya didasarkan pada tes tertulis pada akhir tahun.
Hal ini juga mendorong sekolah untuk mengintensifkan dan memperluas pelibatan
guru dalam semua tingkat dalam proses asesmen.
|
Apa ganti USBN?
|
Gantinya
adalah ujian yang dikelola tiap-tiap sekolah. Ujian tersebut dapat
dilaksanakan dalam beragam bentuk asesmen sesuai dengan kompetensi yang
diukur.
|
Seperti apa pelaksanaan
ujian sekolah pengganti USBN?
|
Dari
sisi bentuk ujian, guru boleh dan diharapkan menggunakan beragam
bentuk asesmen. Hal ini bisa berupa tes tertulis seperti saat ini. Namun guru
juga disarankan menggunakan asesmen bentuk lain seperti penugasan, portofolio
siswa, dan project kolaboratif.
Dari sisi waktu
pelaksanaan, asesmen yang menjadi bagian dari ujian ini tidak selalu harus
dilakukan di penghujung tahun ajaran sebagaimana ujian konvensional selama
ini. Misalnya, nilai ujian akhir jenjang bisa didasarkan pada penilaian
portofolio dan penugasan yang dilakukan sejak semester ganjil.
Kedua
perubahan ini memungkinkan kompetensi siswa dinilai secara lebih
komprehensif. Perubahan ini juga memungkinkan penilaian yang lebih
terdiferensiasi, sesuai dengan kebutuhan individual siswa.
|
Bagaimana jika guru merasa
kurang siap melakukan penilaian akhir jenjang?
|
USBN
memposisikan sebagian besar guru sebagai penerima dan pengguna tes yang
dikembangkan oleh pemerintah pusat dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
di bawah koordinasi dinas pendidikan daerah. Semua siswa dan semua sekolah
dalam satu daerah terikat untuk menggunakan bentuk ujian sama.
Hal
ini menghambat kemerdekaan guru untuk belajar melakukan asesmen. Dengan
mengembalikan kewenangan penilaian akhir jenjang pada sekolah, guru didorong
untuk mulai dan secara terus menerus mengembangkan kapasitas profesionalnya
terkait asesmen.
Selain
itu, membuat soal tes tertulis yang bermutu memang tidak mudah. Kabar
baiknya, penilaian akhir jenjang tidak harus mengandalkan tes tertulis. Guru bisa
menggunakan beragam bentuk
|
asesmen
yang sesuai dengan kompetensi yang diukur, termasuk bentuk asesmen yang lebih
dikenal oleh masing-masing guru.
|
|
Apa peran yang diharapkan
dari dinas pendidikan?
|
Dinas
Pendidikan tidak lagi mengkoordinasi atau memfasilitasi penyelenggaraan ujian
yang seragam. Peran Dinas diharapkan bergeser ke arah pengembangan kapasitas
guru dan sekolah guna meningkatkan mutu pembelajaran.
|
Apa konsekuensi kebijakan
baru ini pada guru?
|
Guru
menjadi lebih merdeka dalam mengajar dan melakukan asesmen siswa. Guru dapat
melakukan asesmen yang lebih sesuai untuk kebutuhan siswa dan situasi
kelas/sekolahnya. Hal ini juga mendorong guru untuk terus mengembangkan
kompetensi profesionalnya, terutama terkait asesmen siswa.
|
Apa konsekuensi kebijakan
baru ini bagi sekolah?
|
Sekolah
perlu mendukung praktik asesmen yang baik, yakni asesmen yang berdampak
positif pada proses dan hasil belajar siswa. Hal ini bisa dilakukan dengan
memfasilitasi guru untuk berkolaborasi mengenai strategi asesmen yang tepat
bagi siswa dan kondisi sekolah masing- masing.
|
Apa konsekuensi kebijakan
baru ini bagi siswa?
|
Tekanan
psikologis bagi siswa akan berkurang karena asesmen dapat dilakukan secara
lebih komprehensif, tidak hanya pada waktu spesifik di akhir tahun ajaran
seperti praktik selama ini. Siswa bisa memiliki lebih banyak kesempatan, dan
melalui lebih banyak cara, untuk menunjukkan kompetensinya.
|
Apa kebijakan baru tentang
UN?
|
Mulai
tahun 2021 UN akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei
Karakter. Kedua asesmen baru ini dirancang khusus untuk fungsi pemetaan dan
perbaikan mutu pendidikan secara nasional.
|
Mengapa 2020 akan menjadi
tahun terakhir bagi UN?
|
Pertama,
UN lebih banyak berisi butir-butir yang mengukur kompetensi berpikir tingkat
rendah. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan pendidikan yang ingin
mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi serta kompetensi lain yang
lebih relevan dengan Abad 21, sebagaimana tercermin pada Kurikulum 2013.
Kedua, UN kurang
mendorong guru menggunakan metode pengajaran yang efektif untuk mengembangkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi. Asesmen kompetensi pengganti UN akan
dirancang memberi dorongan lebih kuat ke arah pengajaran yang inovatif dan
berorientasi pada pengembangan penalaran, bukan hafalan.
Ketiga, UN kurang
optimal sebagai alat untuk memperbaiki mutu pendidikan secara nasional.
Karena dilangsungkan di akhir jenjang, hasil UN tidak bisa digunakan untuk
mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa dan memberi bantuan yang sesuai
dengan kebutuhan tersebut.
|
Apa akan mengganti UN?
|
Asesmen kompetensi pengganti UN mengukur kompetensi bernalar yang
dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah di berbagai konteks, baik
personal maupun profesional (pekerjaan). Saat ini kompetensi apa saja yang
akan diukur masih dikaji, namun contohnya adalah kompetensi bernalar tentang
teks (literasi) dan angka (numerasi).
Selain itu, Kemdikbud juga akan melakukan survei untuk mengukur
aspek-aspek lain yang mencerminkan penerapan Pancasila di sekolah. Hal ini
mencakup aspek-aspek karakter siswa (seperti karakter pembelajar dan karakter
gotong royong) dan iklim sekolah (misalnya iklim kebinekaan, perilaku bullying, dan kualitas pembelajaran).
Karena fungsi utamanya adalah sebagai alat pemetaan mutu, asesmen
kompetensi dan survei pembinaan Pancasila ini belum tentu dilaksanakan setiap
tahun, dan belum tentu harus diikuti oleh semua siswa.
|
Tanpa UN, bukankah siswa
kurang termotivasi untuk belajar?
|
Menggunakan
ancaman ujian untuk mendorong belajar akan berdampak negatif pada karakter
siswa. Jika dilakukan terus menerus, siswa justru akan menjadi malas belajar
jika tidak ada ujian. Dengan kata lain, siswa menjadi terbiasa belajar
sekedar untuk mendapat nilai baik dan menghidari nilai jelek. Hal ini membuat
siswa lupa akan kenikmatan intrinsik yang bisa diperoleh dari proses belajar
itu sendiri.
|
Padahal,
motivasi belajar intrinsik inilah yang justru sangat perlu dikembangkan agar
siswa agar menjadi pembelajar sepanjang hayat.
|
|
Tanpa UN, apakah siswa
tidak menjadi orang yang kurang gigih?
|
UN adalah alat untuk melakukan monitoring dan evaluasi mutu sistem
pendidikan. Fungsi UN bukan untuk melatih keuletan atau kegigihan.
Sifat-sifat ini tidak dapat dibentuk secara instan di akhir jenjang
pendidikan melalui ancaman ketidaklulusan atau nilai buruk. Sifat seperti
kegigihan hanya dapat ditumbuhkan melalui proses belajar yang memberi
berbagai tantangan bermakna secara berkelanjutan.
Butuh
waktu bertahun-tahun untuk bisa membuat sifat seperti kegigihan menjadi
bagian dari karakter siswa.
|
Mengapa hanya difokuskan
pada literasi dan numerasi?
|
Literasi dan numerasi adalah kompetensi yang sifatnya general dan
mendasar. Kemampuan berpikir tentang, dan dengan, bahasa serta matematika
diperlukan dalam berbagai konteks, baik personal, sosial, maupun profesional.
Dengan mengukur kompetensi yang bersifat mendasar (bukan konten kurikulum
atau pelajaran), pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa guru diharapkan
berinovasi mengembangkan kompetensi siswa melalui berbagai pelajaran melalui
pengajaran yang berpusat pada siswa.
|
Apakah berarti pelajaran
selain bahasa dan matematika tidak penting?
|
Fokus
asesmen adalah kompetensi berpikir, sehingga hasil pengukuran tidak sekedar
mencerminkan prestasi akademik pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika
saja. Literasi dan numerasi justru bisa dan seharusnya memang dikembangkan
melalui berbagai mata pelajaran, termasuk IPA, IPS, kewarganegaraan, agama,
seni, dst.
Pesan
ini penting dipahami oleh guru, sekolah, dan siswa untuk meminimalkan risiko
penyempitan kurikulum pada pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika.
|
Jika apa yang diukur tidak
terikat pada konten kurikulum, bagaimana kaitan antara asesmen ini dengan standar pendidikan?
|
Betul bahwa asesmen ini tidak terikat secara erat dengan konten
kurikulum. Namun tidak berarti bahwa asesmen ini sama sekali terlepas dari
kurikulum. Dari sisi konten, asesmen literasi dan numerasi tentu
memperhatikan apa yang (seharusnya) diajarkan oelh guru pada tiap kelas dan
jenjang pendidikan. Hanya saja, asesmen ini tidak dimaksudkan untuk mengukur
penguasaan siswa atas konten kurikulum secara keseluruhan.
Pada prinsipnya,
penguasaan kurikulum secara utuh hanya bisa dinilai oleh guru menggunakan
sumber informasi yang beragam dari interaksi sehari-hari dengan siswa.
Terlebih lagi, kurikulum tiap sekolah bisa berbeda karena masing-masing
memiliki kewenangan untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan visi dan
|
karakteristik
siswanya.
|
|
Siapa yang akan menjadi
peserta asesmen pengganti UN?
|
Asesmen
kompetensi baru akan dilakukan pada siswa yang duduk di pertengahan jenjang
sekolah, seperti kelas 4 untuk SD, kelas 8 untuk SMP, dan kelas 11 untuk SMA.
Dengan dilakukan pada tengah jenjang, hasil asesmen bisa dimanfaatkan sekolah
untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa. Dengan dilakukan sejak
jenjang SD, hasilnya dapat menjadi deteksi dini bagi permasalahaan mutu
pendidikan nasional.
|
Apakah perubahan ini
berdampak pada siswa SD?
|
Perlu
diketahui bahwa saat ini pun tidak ada UN pada jenjang SD. Dengan demikian,
penghentian UN tidak berdampak pada siswa SD. Seperti yang dipaparkan pada
poin sebelumnya, sebagian siswa SD akan mengikuti asesmen kompetensi baru.
Namun asesmen baru ini dirancang agar tidak memiliki konsekuensi bagi siswa.
Karena itu, asesmen baru tidak menjadi beban tambahan bagi siswa SD.
|
Tanpa UN, bagaimana
mengukur ketercapaian standar nasional pendidikan?
|
Perlu
dipahami bahwa UN itu sendiri bukan merupakan standar. UN merupakan instrumen
asesmen yang membantu menilai pencapaian sebagian standar nasional
pendidikan. Karena itu, menghapus UN bukan berarti menghilangkan standar
pendidikan.
|
Sebagaimana
disebutkan di atas, UN akan diganti dengan asesmen lain yang memang dirancang
sebagai alat pemetaan mutu pendidikan nasional. Hasil asesmen pengganti UN
tersebut akan menjadi indikator bagi ketercapaian standar nasional pendidikan
di tiap daerah.
|
|
Jika tidak terikat pada
|
Asesmen yang
dilakukan oleh otoritas (dalam hal ini Kemendikbud)
|
konten kurikulum,
|
berpotensi dipandang sebagai
beban tambahan karena guru dan
|
apakah asesmen ini akan
|
sekolah ingin memperoleh hasil
yang baik. Meski demikian,
|
menjadi tambahan
|
sebenarnya asesmen literasi dan
numerasi ini bukan beban tambahan.
|
beban bagi siswa/guru di
|
Yang diukur oleh asesmen ini
bukanlah penguasaan konten tambahan
|
luar kurikulum yang ada?
|
yang perlu diajarkan di luar
kurikulum yang ada. Seperti telah
|
disebutkan sebelumnya, kompetensi
literasi dan numerasi bisa dan
|
|
perlu dikembangkan melalui semua
mata pelajaran.
|
|
Jika digunakan untuk
menilai efektivitas sekolah, apakah asesmen baru tidak berdampak negatif pada
siswa?
|
Harus diakui bahwa asesmen baru dapat dianggap bersifat high stakes bagi guru dan sekolah.
Jika itu terjadi, asesmen baru berpotensi memiliki dampak negatif seperti
mendorong adanya tekanan dari guru pada siswa untuk mendapat skor tinggi,
serta anggapan bahwa
pelajaran yang dianggap tidak
relevan untuk asesmen ini kurang
|
penting.
|
|
Dampak
seperti ini akan dimitigasi melalui berbagai cara. Yang pertama adalah
rancangan kebijakan yang menekankan pada pemberian dukungan dan sumberdaya
sesuai kebutuhan sekolah, bukan hukuman dan hadiah. Kedua, akan tersedia
asesmen yang sama
|
dalam
versi yang dapat digunakan oleh guru sebagai bagian dari pengajaran
sehari-hari. Versi “asesmen mandiri” ini juga akan dilengkapi dengan petunjuk
pedagogis dan sumberdaya belajar yang relevan untuk mengembangkan kompetensi
siswa sesuai levelnya.
|
|
Apa dampak asesmen baru
bagi siswa?
|
Asesmen
kompetensi pengganti UN akan dirancang agar tidak memiliki konsekuensi bagi
siswa. Misalnya, pelaksanaan pada pertengahan jenjang (bukan akhir jenjang)
membuat hasil asesmen kompetensi tidak relevan untuk menilai pencapaian
siswa. Hasilnya juga tidak relevan untuk seleksi memasuki jenjang sekolah
yang lebih tinggi. Dengan demikian, asesmen ini tidak akan menjadi beban
tambahan bagi siswa, di luar beban belajar normal yang sudah dijalani.
|
Apa dampak asesmen pada
guru dan sekolah?
|
Analisis
dan laporan hasil asesmen kompetensi akan dibuat agar bisa dimanfaatkan guru
dan sekolah untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Hal ini dimungkinkan
karena asesmen baru akan didasarkan pada model learning progression (lintasan belajar) yang akan menunjukkan
posisi siswa dalam tahapan perkembangan suatu kompetensi.
Laporan hasil
asesmen juga akan dirancang agar tidak menjadi ancaman bagi guru dan sekolah.
Pemerintah menyadari bahwa baik buruknya pencapaian siswa dipengaruhi oleh
faktor pengajaran (proses di sekolah) maupun faktor-faktor di luar sekolah,
seperti lingkungan rumah dan gaya pengasuhan orangtua. Karena itu
keberhasilan guru atau sekolah tidak akan dinilai berdasarkan level
kompetensi siswa di satu waktu. Keberhasilan guru/sekolah akan lebih
didasarkan pada perubahan dan kemajuan yang dicapai dibanding waktu asesmen
sebelumnya.
Hasil
asesmen justru akan digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan sekolah.
Kemdikbud akan mengalokasikan dukungan – misalnya dalam bentuk alokasi SDM
dan/atau dana – sesuai dengan kebutuhan tiap sekolah.
|
Apa dasar hukum penggantian
UN dengan asesmen baru?
|
UU
Sisdiknas secara eksplisit memberi mandat kepada pemerintah – melalui lembaga
mandiri – untuk melakukan evaluasi mutu sistem pendidikan nasional. Asesmen
pengganti UN akan menjadi instrumen untuk melayani fungsi tersebut.
Selain
itu, pengadilan Negeri Jakarta pada 2007, dan kemudian Mahkamah Agung (MA)
pada 2009, menilai bahwa UN tidak adil bagi siswa yang berada di sekolah
dan/atau daerah yang kekurangan sumberdaya. MA memerintahkan pemerintah untuk
“meninjau
kembali
sistem pendidikan nasional”. Dengan merancang asesmen baru yang berfungsi
untuk pemetaan mutu serta umpan balik bagi sekolah, tanpa ada konsekuensi
pada siswa, pemerintah secara otomatis telah mematuhi putusan hukum MA
mengenai UN.
|
Daftar Tanya Jawab Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP)
Apa yang menjadi
pertimbangan penyederhanaan RPP?
|
Guru-guru
sering diarahkan untuk menulis RPP dengan sangat rinci sehingga banyak
menghabiskan waktu yang seharusnya bisa lebih difokuskan untuk mempersiapkan
dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri.
|
Apa yang dimaksud dengan
prinsip efisien, efektif dan berorientasi pada murid?
|
·
Efisien berarti penulisan RPP
dilakukan dengan tepat dan tidak menghabiskan banyak waktu dan tenaga.
·
Efektif berarti penulisan RPP
dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
·
Berorientasi pada murid berarti
penulisan RPP dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan, ketertarikan, dan
kebutuhan belajar murid di kelas.
|
Apakah RPP dapat dibuat
dengan singkat, misalnya hanya satu halaman?
|
Bisa
saja, asalkan sesuai dengan prinsip efisien, efektif, dan berorientasi kepada
murid. Tidak ada persyaratan jumlah halaman.
|
Apakah ada standar baku
untuk format penulisan RPP?
|
Tidak
ada. Guru bebas membuat, memilih, mengembangkan, dan menggunakan RPP sesuai
dengan prinsip efisien, efektif, dan berorientasi pada murid.
|
Bagaimana dengan format RPP
yang sudah dibuat guru?
|
·
Guru dapat tetap menggunakan
format RPP yang telah dibuatnya.
·
Guru dapat pula memodifikasi
format RPP yang sudah dibuat sesuai dengan prinsip efisien, efektif, dan
berorientasi kepada murid.
|
Berapa jumlah
komponen dalam RPP?
|
·
Ada 3 komponen inti, yaitu
tujuan pembelajaran, langkah- langkah pembelajaran (kegiatan), dan penilaian
pembelajaran (asesmen). Komponen-komponen lainnya adalah pelengkap.
·
Tujuan pembelajaran ditulis
dengan merujuk kepada kurikulum dan kebutuhan belajar murid. Kegiatan belajar
dan asesmen dalam RPP ditulis secara efisien.
|
Daftar Tanya Jawab Kebijakan Zonasi Tahun Ajaran
2020/2021

Perubahan
Aturan
Apa perubahan yang paling nyata dari peraturan yang baru?
Dalam
Permendikbud terbaru terkait PPDB, Pemerintah Pusat memberikan fleksibilitas
daerah dalam menentukan alokasi untuk siswa masuk ke Sekolah melalui jalur
zonasi, jalur afirmasi, jalur perpindahan orangtua/wali, atau jalur lainnya
(dapat berupa jalur prestasi). Persentasenya pun berubah menjadi sebagai
berikut:
Permendikbud PPDB Sebelumnya
(Permendikbud
No. 51 Tahun 2018 jo Permendikbud No. 20
Tahun 2019)
|
Permendikbud
PPDB Terbaru (Permendikbud No. 44 Tahun 2019)
|
- Jalur zonasi minimal 80%
-
Jalur prestasi maksimal 15%
-
Jalur perpindahan orangtua/wali
maksimal 5%
|
- Jalur zonasi minimal 50%
-
Jalur afirmasi minimal 15%
-
Jalur perpindahan orangtua/wali
maksimal 5%
-
Jika ada sisa kuota, jalur
prestasi dapat dibuka, bisa berdasarkan UN ataupun prestasi akademik dan non-
akademik lainnya. Jalur ini, dengan demikian, maksimal
30%
|
Aturan
PPDB ini dirancang agar daerah bisa menyesuaikan aturan berdasarkan
karakteristik dan kebutuhannya. Itulah mengapa jalur zonasi dan afirmasi ini
secara eksplisit disebutkan proporsi minimal
untuk memudahkan daerah dengan tetap dan atau menambah persentase jalur
prestasi tersebut jika dibutuhkan.
Setelah
menentukan kuota jalur Zonasi, kuota jalur afirmasi, dan seterusnya, daerah
secara transparan harus menjelaskan ketentuan PPDB masing-masing kepada
masyarakat, terutama pemangku kepentingan yang berkaitan dengan ketentuan ini.
Pemerintah Daerah juga sebaiknya menjelaskan kepada publik latar belakang
penetapan proporsi dari masing-masing jalur tersebut, sebagai bagian dari
akuntabilitas dan transparansi kepada publik. Dinas Pendidikan juga diminta untuk
melaporkan ketentuan yang dibuat serta pelaksanaan PPDB kepada Kemendikbud,
agar bisa dilakukan monitor dan evaluasi pelaksanaan Permendikbud.
Perubahan
ini dilakukan setelah mempelajari beragam implementasi PPDB pada tahun-tahun
sebelumnya di tingkat Pemerintah daerah. Meskipun Permendikbud PPDB yang
terdahulu (Permendikbud No 51 Tahun 2018 dan Permendikbud No 20 Tahun 2019)
telah menetapkan secara tegas terkait persentase tiap jalur, namun dalam
penerapannya Pemerintah Daerah membuat ketentuan PPDB utamanya pada jalur
![]() |
Bagaimana dengan daerah yang sudah menerapkan ketentuan Jalur Zonasi sebesar 80% sesuai dengan Permendikbud PPDB sebelumnya (Permendikbud No 51
Tahun 2018,
Permendikbud No 20
Tahun 2019)?
Permendikbud
PPDB yang baru ini tidak akan membuat ketentuan daerah yang sudah menerapkan
jalur zonasi sebanyak 80% dengan tertib menjadi sia-sia. Pemerintah Pusat
memberikan batas minimal 50% untuk setiap jalur penerimaan peserta didik baru,
yang artinya Daerah yang sudah menerapkan jalur zonasi sebanyak 80%,
selanjutnya tinggal mengimplementasikan jalur lainnya sesuai dengan ketentuan
Permendikbud terbaru tersebut.
Jika yang bermasalah dalam
mengatur PPDB adalah Pemerintah Daerah, mengapa Pemerintah Pusat perlu
mengganti aturan?
|
Pemerintah Pusat tidak bisa menyeragamkan pengelolaan PPDB ini.
Fungsi Pemerintah Pusat dalam hal ini adalah sebagai fasilitator, bukan
sebagai regulator yang tidak memperhatikan kondisi dan kebutuhan di daerah. Pemerintah Pusat memfasilitasi
Daerah untuk mengelola sistem pendidikan agar setiap anak di daerah tersebut
dapat mengakses pendidikan bermutu, dan sistemnya lebih berkeadilan sosial.
Dalam pelaksanaan evaluasi pelaksanaan PPDB di daerah, ditemukan bahwa
Pemerintah Daerah kesulitan melakukan pemetaan jumlah usia anak sekolah yang
sedang mengikuti PPDB dan jumlah daya tampung yang tersedia di Sekolah,
sehingga dalam penerapannya cukup sulit dilaksanakan PPDB dengan jalur zonasi
dengan persentase yang cukup besar. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat sangat
mengapresiasi Pemerintah Daerah yang telah mampu menghitung dan memenuhi daya
tampung serta mutu yang baik merata di seluruh Sekolah. Oleh karena itu
Pemerintah Pusat memberikan aturan yang lebih fleksibel kali ini, sembari
mendorong Pemerintah Daerah untuk melakukan pemetaan dengan data yang tepat,
meningkatkan akses melalui daya tampung Sekolah yang mencukupi, dan
meningkatkan mutu pendidikan di setiap Sekolah agar kualitas pendidikan yang
tinggi dapat dirasakan oleh seluruh anak Indonesia.
|
Mengapa Pemerintah Pusat
menyarankan pelibatan sekolah swasta?
|
Data yang dikeluarkan Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan
Kebudayaan (PDSPK) menunjukkan bahwa jumlah sekolah negeri pada jenjang SMP
lebih sedikit dibandingkan SMA, bahkan lebih dari 60% SMA adalah sekolah
swasta. Membangun sekolah negeri baru untuk meningkatkan akses pendidikan
bukan langkah yang ekonomis untuk dilakukan dalam waktu dekat. Setiap
tahunnya, siswa yang lulus dan siap masuk SMA, tanpa menunggu proses
pembangunan gedung sekolah. Rencana menambah jumlah sekolah negeri adalah
rencana yang baik dan patut dilakukan pemerintah daerah. Namun selama ini
sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat yang berbiaya rendah juga sangat
berperan dalam membuka akses pendidikan, sehingga kemitraan dengan Dinas
Pendidikan akan menjadi solusi yang baik bagi kedua belah pihak.
Dalam
upaya pelibatan sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat, Pemerintah
Daerah sebaiknya mempertimbangkan kualitas layanan di sekolah yang
diselenggarakan oleh masyarakat, sebelum Pemerintah Daerah melibatkan sekolah
tersebut dalam skema PPBD.
|
Apa yang diharapkan
Pemerintah Pusat dari Pemerintah Daerah, terkait dengan PPBD dan akses
pendidikan?
|
Dalam pelaksanaan PPDB melalui Jalur Zonasi yang sudah dilaksanakan
sebelumnya, data menunjukkan bahwa jumlah daya tampung Sekolah Negeri tidak
cukup untuk menerima seluruh siswa yang mendaftar pada Sekolah jenjang
berikutnya melalui PPDB. Hal ini mendorong daerah memberikan intervensi dalam
pemenuhan layanan pendidikan di daerahnya, karena pada dasarnya Pendidikan adalah
|
Layanan Dasar sebagaimana ketentuan dalam UU Pemerintahan Daerah.
Memenuhi hak akses pendidikan perlu menjadi prioritas, namun perlu
disadari bahwa membangun Unit Sekolah Negeri Baru memerlukan langkah yang
cukup panjang dengan membutuhkan pembebasan lahan, durasi pembangunan yang
lama, dan adanya keterbatasan anggaran negara. Sekolah Swasta dapat menjadi
alternatif dalam pemenuhan daya tampung, juga sebagai bentuk kolaborasi
antara Pemerintah dengan masyarakat. Kolaborasi ini dapat diupayakan sembari
pemenuhan pendidikan utamanya bagi yang tidak mampu dipenuhi oleh Pemerintah
Daerah, dapat berupa subsidi biaya, bantuan operasional, maupun mekanisme
lainnya.
|
|
Mengapa tidak
|
PPDB jalur Zonasi
yang diatur dalam Permendikbud yang baru
|
menyerahkan
|
bertujuan untuk meningkatkan
akses pendidikan yang berkualitas
|
sepenuhnya saja kepada
|
tanpa diskriminasi. Selain itu,
pendidikan yang bermutu adalah hak
|
Daerah untuk mengelola
|
setiap anak Indonesia yang harus
dipenuhi Pemerintah. Artinya,
|
PPDB?
|
kualitas pendidikan harus merata.
Oleh karena itu, untuk memastikan
|
bahwa tujuan ini dapat dicapai,
Pemerintah Pusat mengatur beberapa
|
|
aturan dan batasan, yaitu dengan
adanya jalur zonasi dan jalur
|
|
afirmasi yang memiliki batasan
minimal serta jalur perpindahan orang
|
|
tua yang memiliki batasan
maksimal untuk setiap jalur penerimaan
|
|
peserta didik, dan apabila masih
ada sisa dapat digunakan untuk jalur
|
|
prestasi.
|
|
Mengapa Pemerintah Daerah
perlu melaporkan aturan dan hasil Pelaksanaan PPDB kepada Pemerintah Pusat?
|
Pelaksanaan PPDB yang dilakukan Pemerintah Daerah penting untuk
dilaporkan kepada Pemerintah Pusat, hal ini dikarenakan segala kebijakan PPDB
yang diterapkan oleh Pemerintah Daerah adalah data bagi Pemerintah Pusat
untuk memahami mekanisme pemenuhan akses pendidikan di daerah, dengan
tantangan yang berbeda-beda
sesuai dengan karakteristik
daerah masing-masing. Melalui PPDB ini
|
pun dapat dipetakan data
pemenuhan akses anak terhadap
|
|
pendidikan. Hal ini juga
memudahkan Pemerintah Pusat dan
|
|
Pemerintah Daerah dalam
memberikan keputusan ketika menghadapi
|
|
tantangan yang ada di sekolah
sesuai dengan kebutuhannya masing-
|
|
masing.
|
|
Terkait dengan pengumuman
kebijakan PPDB, apakah informasi ini perlu disampaikan juga kepada warga
masyarakat walaupun mereka tidak berkepentingan secara langsung dengan
penerimaan siswa baru?
|
Ya, pendidikan adalah tanggung jawab bersama, dan perlu menjadi
perhatian seluruh warga masyarakat, tidak hanya orangtua yang mendaftarkan
anaknya sekolah saja. Kepedulian masyarakat dapat mendorong pemerintah untuk
meningkatkan pemerataan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang
berkualitas.
|
Proporsi Jalur PPDB
Mengapa menggunakan batas
minimum untuk jalur zonasi dan jalur afirmasi?
|
PPDB adalah suatu proses yang sangat perlu memperhatikan konteks
lokal, misalnya berapa banyak sekolah negeri di suatu wilayah, berapa banyak
anak usia SD yang akan melanjut ke SMP, serta dari SMP ke SMA, berapa banyak
anak penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) di daerah tersebut, berapa banyak
yang kondisi ruang kelasnya rusak, dan sebagainya. Akan lebih efisien, sesuai
konteks, dan tepat sasaran apabila masing-masing Daerah yang mengatur
regulasi PPDB yang disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan
masing-masing daerah. Hal ini juga selaras dengan semangat otonomi daerah,
Pemerintah Pusat memberikan Norma, Standar, Pedoman, dan Kriteria sesuai
dengan UU Pemerintahan Daerah sebagai rambu- rambu yang digunakan oleh
Pemerintah Daerah.
|
Apa yang dimaksud dengan
jalur afirmasi?
|
Jalur
afirmasi disediakan untuk siswa yang menerima program penanganan keluarga
tidak mampu dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah (misalnya penerima
KIP). Jalur ini merupakan komitmen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
untuk meningkatkan layanan akses pendidikan berkualitas untuk anak-anak dari
keluarga tidak mampu. Pemerintah Daerah dapat menentukan proporsi siswa yang
diterima melalui jalur ini dengan mengacu pada persentase siswa yang menerima
program penanganan keluarga tidak mampu dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah di daerah tersebut.
|
Jika ada calon peserta
didik penerima KIP namun secara domisili peserta didik yang bersangkutan juga
bisa masuk melalui jalur zonasi, jalur mana yang akan diikutinya?
|
Jalur
afirmasi, jika kuota afirmasi belum terpenuhi untuk sekolah tersebut. Hal ini
dilakukan agar siswa dalam zona yang tidak menerima program penanganan
keluarga tidak mampu dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah tidak
terhalangi untuk masuk ke sekolah tersebut. Dengan demikian, kesempatan yang
diberikan pemerintah pada siswa dari keluarga tidak mampu sedapat mungkin
tidak merugikan siswa dari kelas sosial lainnya.
|
Persentase minimum untuk
jalur zonasi hanya 50%, ini lebih kecil daripada proporsi di Permendikbud
Nomor 51
Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada
Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah
Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan sebagaimana diubah dengan
|
Ada
dua alasan utama terkait hal ini. Pertama, Pemerintah Pusat mendengar
beberapa masukan dari Pemerintah Daerah untuk mencapai jalur zonasi dengan
batas minimum 80% mengalami kesulitan. Karena khawatir tidak mencapai angka
tersebut, satuan zona diperbesar. Bahkan wilayah satu kota menjadi satu zona,
tidak dibagi menjadi beberapa zona karena khawatir ada sekolah yang tidak
mendapatkan siswa. Jika satu zona sudah sebesar wilayah administrasi Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota, maka esensi dari PPDB melalui jalur zonasi ini
menjadi tidak jelas. Dengan adanya aturan yang tidak seketat dahulu,
diharapkan Daerah lebih optimis bahwa tujuan PPDB melalui jalur zonasi ini
dapat diwujudkan.
Kedua, yang tidak
kalah pentingnya adalah masalah kondisi sekolah di Indonesia yang masih belum
merata kualitasnya. Demikian pula penyebaran guru yang berkualitas tinggi
juga masih belum merata.
|
Permendikbud Nomor 20
Tahun 2019 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51
Tahun 2018 tentang
Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan.
Apa pertimbangan Pemerintah
Pusat tentang hal ini?
|
Menurut
data terakhir Kemendikbud, ruang kelas yang kondisinya tergolong baik tidak
mencapai 50% di seluruh Indonesia. Artinya lebih banyak ruang kelas yang
rusak dibandingkan yang baik. Pemerintah Daerah perlu melakukan berbagai
upaya untuk mengatasi tentang masalah ini, begitu juga dengan akses
pendidikan yang semakin sulit dicapai anak-anak miskin di jenjang yang lebih
tinggi. Namun demikian, Pemerintah Daerah pasti perlu waktu untuk memperbaiki
kondisi ruang kelas dan pendistribusian guru berkualitas, disisi lain siswa
lulus dari sekolah setiap tahun tanpa henti, tidak bisa menunggu ruang kelas
direnovasi atau guru berkualitas dirotasi. Maka jangan sampai kebijakan untuk
pemerataan pendidikan mengorbankan anak.
|
Apakah penurunan % siswa
yang masuk melalui sistem zonasi ini menandakan bahwa Pemerintah kurang
berpihak pada anak-anak miskin yang biasanya hanya jadi “penonton” sekolah
“favorit” di lingkungannya?
|
Pemerintah
terus berkomitmen pada pemerataan kualitas pendidikan, namun jangan sampai
kebijakan tersebut mengorbankan anak. Asumsi bahwa dengan dibatasi wilayah
maka anak miskin dapat mengakses pendidikan berkualitas juga belum tentu
berlaku di semua wilayah.
Tidak mustahil dengan adanya
zonasi yang ketat anak-anak dari
keluarga
miskin yang berpotensi tinggi justru “terjebak” untuk masuk sekolah yang ada
di dekat rumahnya, yang sebenarnya kualitasnya kurang baik. Namun ini semua
masih berlandaskan asumsi, kita perlu data empiris dan analisis yang lebih
sistematis untuk memastikan bahwa aturan PPDB tidak merugikan kelompok
tertentu.
Kedua,
secara eksplisit ada jalur afirmasi yang disyaratkan oleh Pemerintah Pusat.
Hal ini menunjukkan komitmen pada pemerataan kesempatan pendidikan untuk
anak-anak dari keluarga tidak mampu.
|
Apakah penurunan % zonasi
ini menandakan bahwa “sekolah favorit” akan dipertahankan?
|
Tidak,
pertimbangan tentang batas minimum jalur zonasi dan jalur afirmasi tidak ada
hubungannya dengan favoritisme. Sebelum kebijakan zonasi diterapkan, kita
tidak bisa benar-benar mengatakan bahwa ada sekolah unggulan karena yang
unggul adalah input siswanya. Mereka sudah tersaring ketat, sehingga di suatu
sekolah yang mendapat label “unggulan” atau “favorit” ini siswanya cenderung
homogen, yaitu mayoritas siswa dengan capaian akademik yang tinggi. Karena
umumnya mereka dari keluarga kelas menengah sampai dengan kelas atas,
dukungan belajar di luar sekolah untuk anak-anak ini juga lebih baik,
misalnya ikut Bimbingan Belajar, kursus bahasa asing, dan sebagainya.
Sehingga output dari sekolah itu pun menjadi unggulan. Kita ingin semua
sekolah unggul, sama baiknya.
Setiap anak mendapat kesempatan belajar di ruang kelas yang baik
kondisinya dan diajar oleh guru yang kompeten. Sebelum kebijakan zonasi
diterapkan, hanya siswa tertentu saja yang berkesempatan
|
demikian.
Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, tidak boleh membuat aturan yang
mendiskriminasi kelompok tertentu.
|
|
Mengapa jalur prestasi
disediakan maksimal 30% saja?
|
Kembali
ke tujuan besar dari PPDB adalah untuk pemerataan kesempatan pendidikan, di
mana akses terbuka untuk semua anak, maka jalur prestasi yang terlalu besar
bisa menjauhkan kita dari tujuan tersebut. Daerah tidak harus membuka jalur
ini, karena mungkin akses sekolah sudah sangat besar dari segi suplai, maka
semua anak dalam zona sudah bisa tertampung.
|
Satuan wilayah zonasi
Apakah ada perubahan
peraturan terkait penghitungan satuan wilayah zonasi?
|
Pemerintah
Daerah perlu menetapkan satuan wilayah zonasi, seberapa luasnya serta berapa
banyak wilayah zonasi yang ada di wilayah administrasinya. Hal ini dilakukan
dengan cara memetakan jumlah dan domisili calon peserta didik baru, daya
tampung sekolah, dan jumlah sekolah yang diselenggarakan masyarakat yang akan
disertakan dan sekolah yang berbasis agama. Data ini seharusnya ada di
tingkat daerah.
|
Ada kasus di mana anak
tinggal di wilayah perbatasan, harus masuk ke sekolah yang lebih jauh karena
masuk dalam zonanya. Padahal lebih dekat jika bersekolah di zona yang
berbeda.
Kasus ini sudah ada jalan
keluarnya?
|
Ini
adalah hal yang perlu diperhitungkan Pemerintah Daerah ketika membuat zona.
Harusnya kasus seperti ini tidak banyak, karena jika banyak artinya metode
penetapan zonanya keliru. Oleh karena tidak banyak, hal-hal seperti ini
seharusnya bisa diselesaikan Pemerintah Daerah, melalui musyawarah yang
hasilnya demi kebaikan anak.
|
Dampak PPDB saat ini
Sistem PPDB saat ini
menyebabkan guru kesulitan mengajar karena capaian akademik siswanya terlalu
beragam. Sebaiknya apa yang dilakukan sekolah?
|
Ketika PPDB berlandaskan pada hasil tes, sekolah memang lebih
homogen. Menjadi tidak adil ketika terdapat sekolah homogen yang mayoritas
siswanya siap belajar dan orangtua mereka siap untuk mendukung anak belajar,
sementara di sekolah lainnya berkumpul siswa dengan kondisi yang sebaliknya.
Guru yang efektif
adalah guru yang mampu menggunakan berbagai strategi dan pendekatan dalam
mengajar anak-anak dengan kemampuan yang berbeda-beda. Salah satu hal yang
bisa dilakukan adalah meningkatkan kapasitas guru-guru dalam menggunakan
pendekatan yang beragam (differentiated
instruction). Mendidik semua anak tanpa diskriminasi adalah tugas setiap
satuan pendidikan.
|
Prinsip
ini berlaku untuk semua, pemerintah pusat, daerah, sekolah dan juga guru.
|
|
PPDB melahirkan
|
Dengan aturan yang lebih fleksibel, diharapkan praktik seperti ini
tidak lagi terjadi karena tidak ada lagi anak yang tidak mendapatkan sekolah.
Harapan
orangtua dan anak untuk bisa masuk sekolah tertentu terjadi ketika kualitas
pendidikan tidak merata. Maka dengan perubahan sistem PPDB ini, pemerataan
kualitas belajar di seluruh sekolah menjadi prioritas pemerintah baik di
pusat maupun di daerah. Maka dalam jangka menengah dan jangka panjang,
harapannya tidak ada lagi orangtua yang menggunakan cara yang melanggar
aturan dalam mendaftarkan anaknya karena kualitas sekolah sama baiknya.
|
kecurangan baru, yaitu
|
|
manipulasi Kartu
|
|
Keluarga agar anak bisa
|
|
memasuki sekolah
|
|
unggulan. Bagaimana
|
|
jalan keluarnya?
|
|
Dan ada juga praktik
“jual-beli bangku” di sekolah favorit, bagaimana mengatasinya?
|
Praktik ini sebenarnya sudah lama sering terjadi, bukan ketika
diterapkan aturan zonasi saja. Hal ini merupakan masalah korupsi di sekolah
secara umum. Praktik ini sudah ada baik ketika PPDB sepenuhnya jalur seleksi
(sebelum ada aturan zonasi) maupun saat
diterapkannya zonasi. Kita perlu
kebijakan lain terkait penanggulangan
|
korupsi untuk menghentikan
praktik-praktik ini.
|
|
Jalur Zonasi tidak boleh
menggunakan nilai Ujian Nasional. Tidakkah ini bertentangan dengan Pasal 68
huruf b PP SNP yang menyatakan bahwa hasil ujian nasional digunakan untuk
seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya?
|
Dari
empat jalur PPDB, salah satunya adalah jalur prestasi. Untuk jalur ini
kriteria seleksi dapat menggunakan nilai Ujian Nasional. Sehingga tidak ada
yang bertentangan dengan PP tersebut.
|